Senin, 16 Februari 2009

TEUKU PANGLIMA MAHARAJA TIBANG MUHAMMAD


Oleh: J. A. Vink


Setiap perwira yang bertugas di Aceh pasti mengenal Panglima Tibang. Saya memperoleh kesempatan menulis ringkasan sejarah hidupnya. Karenanya, agar diketahui umum, saya mengharapkan bantuan redaksi Indisch Militair Tijschrift untuk memuatnya dalam majalah tersebut.


Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad bukan keturunan Aceh. Ia berasal dari Lahore, Hindustan yang datang ke Aceh selagi masih anak-anak. Tadinya ia berdiam pada uleebalang Gigieng Bentara Keumangan di pantai Utara Aceh dan tidak lama antaranya ia berada dalam lingkungan terdekat Sultan Aceh.
Sejak pemuda ia telah memperlihatkan dirinya sebagai seorang panglima perang. Atas jasa-jasa yang diberikan sultan telah menghibahkan kepadanya sebuah kampung yang bernama Tibang sebagai hak miliknya yang pada waktu itu mencakup sepuluh buah menunasah. Disebabkan hibah inilah ia menggunakan gelar Panglima Tibang.
Berturut-turut sultan menugaskannya untuk memangku berbagai jabatan dan bertahun-tahun lamanya ia diberi tugas untuk mengutip biaya negara, mula-mula sebagai wakil syahbandar, kemudian sebagai syahbandar kerajaan dan berkali-kali pula sebagai panglima laut untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di daerah-daerah pantai dalam mencegah tindakan bajak laut yang pada masa itu bahkan turut dilakukan oleh keluarga terdekat sultan sendiri dan selanjutnya untuk mengatur masalah-masalah politik kerajaan.
Seperti halnya dengan Raja Pidie, mertua sultan, yang karena hubungannya dengan sultan menggunakan cap bergelar Khadam Sultan Aceh, maka begitu pula Panglima Tibang pada waktu pengangkatannya diserahi cap sultan yang bergelar demikian. Arti khadam adalah hamba yang setia merangkap penasihat sultan.
Sultan Mansur Syah (1836-1870) lama sekali terlibat dalam peperangan dengan uleebalang-uleebalangnya yang memberontak ketika putra sultan yang lalu –bernama Raja Sulaiman – masih kecil dan berada di bawah perwalian Mansur Syah.
Peperangan itu berlanjut sampai setelah Raja Sulaiman meninggal (dikuburkan di II mukim) dengan meninggalkan seorang putra yang kemudian dikenal dengan nama Mahmudsyah. Permusuhan itu baru berakhir dengan suatu perdamaian dan diserahkan putra Raja Sulaiman dalam asuhan Mansur Syah.
Jika kewibawaan sultan pada waktu itu sudah amat lemah, maka kewibawaan itu menjadi lemah lagi dengan munculnya Habib Abdurrahman di Aceh yang dengan kelihaian dan kesigapannya dapat menguasai rakyat dan para uleebalang, lagi-lagi dengan menggunakan nama sultan.
Demikianlah pada suatu waktu Habib Abdurrahman menuntut diserahkannya kekuasaan sultan ke tangannya setelah ia terlebih dahulu menjadi kadi kepada kerajaan dengan maksud – demikian tujuannya – agar semua urusan di Aceh dapat dijalankan menurut ketentuan-ketentuan Islam sejati.
Dalam keadaan kacau itulah Panglima Tibang menyebelahi sultan yang berada dalam keadaan terjepit dengan menentang instrik-intrik yang amat berbahaya itu.
Dalam keadaan itu timbul keyakinan pada Panglima Tibang (yang disetujui sepenuhnya oleh Sultan Mansur dan Mahmudsyah) bahwa hanya dengan ... luar negeri sajalah wibawa sultan dapat dipulihkan. Itulah sebabnya mengapa Tibang atas nama sultan diutus untuk mengadakan perundingan dengan pemerintah Hindia Belanda.
Pada waktu diadakan perundingan yang disusul kemudian dengan pecahnya peperangan pada tahun 1873 sultan benar-benarnya menjadi tawanan di tempat kediamannya sendiri. Ia diancam oleh para uleebalang supaya menyerahkan Panglima Tibang untuk dihukum karena Tibang –demikian berita-berita yang tersiar diluaran – bermaksud hendaknya menjual negeri Aceh kepada kompeni Belanda.
Pernyataan perang oleh pihak Belanda dan tembakan-tembakan meriam yang dilepaskan oleh kapal-kapal perangnya demikian terpikir oleh Panglima Tibang – merupakan tantangan besar dalam menghadapi para uleebalang yang salama ini menganggapnya sebagai salah satu seorang pengkhianat Aceh. Pada hari-hari pertama tahun 1874 Panglima Tibang lagi-lagi melakukan tugas penting.
Penyakit kolera berkecamuk di kalangan penghuni-penghuni Dalam. Setiap hari tidak kurang dari 150 mayat yang dikebumikan . Beberapa hari sebelum terjadi perebutan Dalam oleh Belanda banyak rakyat Aceh yang menyingkir dari Dalam, baik karena khawatir akan dihinggapi kolera maupun akan menjadi korban-korban bayonet Belanda.
Sultan dan Panglima Tibang adalah orang-orang terakhir yang meninggalkan Dalam (menurut perkataan Panglima Tibang sendiri). Dalam pada itu sultan dihinggapi kolera sesampai di Pagaraye’ ia tidak dapat meneruskan perjalanannya lagi .
Seperti diketahui di tempat tersebut Sultan Mahmud Syah meninggal akibat kolera. Merasa takut kalau-kalau ditangkapi Belanda, maka Panglima Tibang membawa putra sultan yang ketika itu masih berumur 4 – 5 tahun – yaitu Sultan Aceh yang sekarang berada di Keumala – melalui Lambaro ke Luthu dalam VII mukim dan menyerahkannya kepada Teuku Baet seraya menyampaikan khabar bahwa sultan telah meninggalkan dengan mengucapkan “dan ini adalah sultan yang baru”.
Pada saat itu Panglima Tibang yang selama inipun sudah mulai merasa tidak sehat, jatuh sakit selama delapan hari dan hampir saja ia meninggal dunia.
Setelah merasa sembuh dari penyakitnya berangkatlah Panglima Tibang ke Keumala. Enam bulan kemudian ia menuju ke daerah Teuku Bentara Keumangan. Ia selalu mengadakan hubungan dengan keluarga Keumangan. Panglima Tibang tidak turut dalam peperangan yang terjadi antara Belanda dengan Aceh. Pada waktu itu ia berada di pedalaman Gigieng menanam Pala.
Panglima Tibang baru muncul di pentas politik karena dihubungi asisten-asisten A. Soal tahun 1878. Ia pun menyetujui untuk ikut dengan Belanda ke Aceh Besar.
Jenderal Van der Heijden pun menganggap perlu mempekerjakan Panglima Tibang dalam dinas pemerintahan Hindia Belanda. Bukankah pada masa itu tidak ada orang lain di Aceh yang sangat paham dengan berbagai masalah Aceh serta yang mengenal baik uleebalangnya ? Ia dipekerjakan Belanda untuk mengetahui sejauh mana hubungan para uleebalang dengan sultan yang kini sudah menjadi alat pemerintah Hindia Belanda dan sejauh mana kesetiaan mereka itu terhadap sultan pada masa-masa sebelumnya.
Berkat perjalanan-perjalanan yang dilakukan oleh Panglima Tibang pihak Belanda berhasil memperoleh banyak keterangan mengenai keadaan negeri dan sumber-sumber bantunya. Selama bertugas pada pemerintah Hindia Belanda Panglima Tibang telah memperlihatkan dirinya sebagai seorang ahli yang dapat dipercaya dan rajin melaksanakan perintah-perintah yang diberikan kepadanya.
Kedudukannya dalam memenuhi tugas-tugas itu memang sukar dan tidak menyenangkan, terutama dalam menghadapi para uleebalang yang tidak bermuka dua. Dalam hal ini kadang kala Panglima Tibang terpaksa bertindak keras terhadap mereka itu.
Kendatipun tindakannya tidak selalu terpuji, tetapi semua itu memperlihatkan betapa besar usaha Tibang dalam memenuhi kepentingan-kepentingan pihak Belanda di samping ia benar-benar berdiri di luar intrik-intrik pihak Aceh. Oleh karena itu, Jenderal Van der Heijden telah mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar kepada Panglima Tibang diberikan penghargaan berupa bintang jasa mas. Selain itu, kepadanya telah dianugrahi gelar Panglima Maharaja dan terakhir sekali Salib Eskpedisi dalam keikutsertaannya dengan pasukan-pasukan Belanda dalam Sagi XXII dan XXVI.

1 komentar:

Sejarah, Sains, Astrologi, Ivan Taniputera mengatakan...

Dengan hormat,

Saya sedang menulis buku mengenai sejarah kerajaan2 di Kepulauan Nusantara. Apakah Bapak memiliki data-data tentang sejarah daerah2 uleebalang di Aceh? Seperti silsilah, urutan uleebalang, data sejarah, dan lain sebagainya? E-mail saya: ivan_taniputera@yahoo.com.

Sebelumnya saya ucapkan beribu terima kasih.

Salam hormat,

Ivan T.