Minggu, 01 Maret 2009

Masjid Beuracan, Kec. Meureudu Pidie Jaya, NAD

Oleh: Agus Budi Wibowo

Mesjid Beuracan terletak di Desa Beuracan, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, yaitu di sisi jalan poros Sigli-Medan, yaitu di sisi jalan poros Sigli-Medan dan dapat dijangkau dengan semua jenis kendaraan darat. Mesjid ini dibangun di atas tanah seluas 40 x 40 meter deengan status tanah wakaf.
Bangunan mesjid berdenah bujur sangkar. Bagian luar sisi barat bangunan maesjid ini masih tersisa adanya bekas pondasi dari bangunan lama. Bila melihat pondasi yang tersisa itu tampak bahwa dasar pondasi yang sekarang telah bergeser sekitar 50 cm ke arah timur. Mesjid Beuracan hingga kini masih difungsikan meskipun mesjid baru telah dibangun pada sisi utara. Terlebih lagi karena mesjid ini ramai dikunjungi oleh masyarakat pada hari-hari tertentu untuk melepaskan nazar.
Mesjid Beuracan beratap tumpang 3 dari bahan seng dan berdinding kayu dengan ukiran dekoratif motif Aceh serta sulur-suluran. Dinding ini merupakan hasil pemugaran yang dilakukan oleh Muskala pada tahun 1990. Pada luar dinding terdapat teras yang dipisahkan oleh dinding tembok setinggii 95 cm dan tebal 26 cm. Pada bagian depan atap teras terdapat ukiran sulur-suluran dengan kombinasi berbagai warna.
Mesjid ini ditopang oleh 16 buah tiang sebagai soko guru yang berdiameter 52 cm yang menopang atap bagian atas. Masing-masing tiang tersebut berbentuk segi delapan dan satu buah tiang di antaranya telah diganti dengan bentuk yang sama. Selain tiang soko guru masih terdapat 4 buah tiang gantung yang turut menopang atasp bagian atas. Sejak pemugaran yang dilakukan tahun 1947 dan 1990, maka mesjid tersebut telah diberi llangit-langit dari papan. Lantai mesjid terbuat dari semen dan bata. Pola hias berupa tumpal, sulur-suluran dan hiasan bunga juga terlihat pada balok pengikat antara tiang soko guru dengan tiang gantung.
Pada sisi barat bangunan inti terdapat bagian yang menjorok keluar ynag difungsikan sebagai mihrab. Di dalamnya terdapat sebuah mimbar dari tembok semen dengan cat putih dan atap dari tirap/kayu dengan pola hias sulur-suluran dan bunga.
Unsur lain yang masih tersisia ialah adanya sebuah bedug yang terbuat dari kulit sapi dan batang pohon lontar. Menurut seorang informan bahwa kulit sapi yang digunakan bedug ini dan rotan yang digunakan sebagai pengikat telah diganti. Adapun ukuran bedug itu adalah panjang 142 cm, diameter bagian atas 75 cm, diameter badan 67 cm, dan diameter dasar 51 cm.
Peningalan lain yang tidak kalah penting adalah adanya sebuah tongkat yang seusia dengan bangunan mesjid ini. Tongkat tersebut terbuat dari rotan, bagian atas terbuat dari kuningan dan bagian bawah terbuat dari besi yang bentuknya menyerupai linggis dengan ukuran panjang 163 cm.
Di bagian luar bangunan mesjid terdapat sebuah guci Siam yang sebagian badannya tertanam di dalam tanah sehingga yang nampak pada permukaan ialah bagian leher dan mulut guci. Guci ini masih dikeramatkan sehingga diberi pembatas dari kain dan kain penutup seluruh bagian badan guci. Adapun ukuran guci diameter mulut 35 cm, diameter badan 80 cm, kedalaman/tinggi 92 cm.
Diperoleh informasi bahwa mesjid Beuracan dibangun oleh Tgk. Salim pada tahun 1622 M pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh. Tgk. Salim berasal Madinah. Ia datang melalui selat Malaka hingga sampai di daerah Meureudu bersama-sama dengan Tgk. Japakeh dan Malim Dagang. Tgk. Salim tinggal menetap di Pocut Krueng sehingga ia dikenal dengan nama Tgk Chik di Pocut Krueng. Tgk. Japakeh menetap di Desa Meunasah Raya dan Malim Dagang menetap di Desa Manyang Cut. Ia adalah seorang ulama. Oleh karena itu, ia kemudian membangun mesjid sebagai pusat pengajaran agama Islam kepada masyarakat di sekitarnya. Di samping itu, ia juga membuka lahan persawahan seluas 50 ha dan tanah perkebunan di lingkungan mesjid seluas 6 ha, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pembangunan mesjid.
Mesjid Beuracan pernah dipugar oleh masyarakat pada tahun 1947 dengan memperindah bangunan tanpa merubah bentuk semula, hanyya menambah dinding bagian belakang (sisi barat). Kemudian pada tahun 1990 dipugar kembali oleh Muskala Kanwil Depdikbud Prop. DI Aceh dengan penambahan dinding seluruh bagian mesjid dan mengganti tiang-tiang serta atap yang rusak.

Hikayat Prang Atjeh Teuku Umar Johan Pahlawan

Mujar MS

Hikayat Prang Atjeh
Teuku Umar Johan Pahlawan


Diterbitkan oleh
Toko Buku RATA
Jaln. Teuku Cut Ali Banda Aceh



Isi Buku

N0 Halaman
1. Isi Buku i
2. Muqaddimah ii
3. Salam Penyusun 1
4. Kata pembukaan 2
5. Kisah pertama 3
6. Kata penutup 27


******* oo 0 oo *******

Sangat pemberani Umar Pahlawan
Pimpinan pasukan membela negara
Di Ujong Kalak kehendak Tuhan
Syahid Pahlawan pada akhir masa


Salam Penyusun
(sekapur sirih)

Allahu Allah Allahu Rabbi
Syukur dengan puji kepada Tuhan yang Esa
Salawat salam siseun saya beri
Kepada Nabi saidil ambia

Salam sejahtera saya iringi
Akan insan suku sebangsa
Haba(hikayat) lama perjelas kembali
Sejarah lama pada suatu masa
Sejarah lama saya cerita
Kisah tragedi Aceh mulia
Masa perang Aceh sahih berdalil
Pahlawan suci Umar perkasa

Obat pikiran ketika sunyi
ketika sepi untuk penawar
jangan sampai lupa satu tragedi
sejarah negeri zaman Belanda

Kembalikan ingat riwayat suci
Kita ulang kaji sejarah bangsa
Kisah pejuang cukup sejati
Dalam perang sabil membela agama

Sampai di sini sekedar kisah mulaan
Pulang ke abi serta bunda
Kalam permulaan pada saya wahai saudara
Pengarang seni Keuluang Jaya

Mujar Ms
Halama 1

Kisah Permulaan

Syukur dengan puji kepada Allah
Dengan bismillah saya mulai kisah
Selawat salam kepada Rasulullah
Utusan Allah Nabi mulia

Amma bakdu saudara yang berbahagia
Saya berkisah satu ceritra
Dao saya mohon kepada Allah
Menyusun naskah supaya sempurna

Gunung Geurutee tinggi sekali
Tekungan patah jalan sebelah Daya
Zaman dahulu masa penjajah
Dalam sejarah perang dengan Belanda

Seorang panglima paling terkenal
Lagi tampan dengan bijaksana
Pada masa perang Aceh cukup terkenal
Cukup berani membela bangsa

Mempertahan negeri menghalau penjajah
Serambi Mekah jangan dikuasai orang
Jangan sampai kafir yang memerintah
Agama Allah jangan diganggu
Halaman 2

Permulaan Kisah

Allhadulillah puji kepada Tuhan
Saya buka kalam jalan ceritra
Bait saya tata reka mengarang
Pertama tentang awal ceritra

Dalam Lhok Rigaih pada suatu malam
Tiba kapal barang dari Eropa
Menurunka sauh di pelabuhan
Pada malam itu sangatlah besar

Bendera biru bertabur bintang
Tanda bangsaan Britania Raya
Memang kala Inggris cukuplah terang
Penuh di dalam barang niaga

Saudagar Aceh sangatlah senang
Pada malam itu bersuka ria
Lewat pintu kapal masuk ke dalam
Riuh tiada tara di sana berpesta

Banyak tokoh ke sana datang
Turut serta dengan syahbandar
Semalam suntuk sibuk tiada tara
Berpiasan berhura-hura

Kapten kapal lemah pikiran
Orang di dalam disuruh keluar segera
jangan lagi berpesta sini dilama
Hai tuan-tuan harus tahu bahasa
Halaman 3

Kami ke sini jauh tiada tara
Arung gelombang dalam laut raya
Niat dalam hati sampai ke tujuan
Mengantar barang tukar dengan lada

Bukan kami ke sini datang
Bukan tempat tuan berhura-hura
Mengapa di sini lain sekali reusam
Mengadakan piasan pada harta orang

Turunlah secara cepat
Sebelum saya pukul ke dalam mata
Bukan kapal kami tempat bersenang
Berhenti segera jangan keras kepala

Begitulah keluar kata-kata yang keras dan kaku
Kasar tiada mengeluarkan kata-kata
Dengan logat Inggris tiadalah jelas
Bercampur ragam dengan bahasa Jawa

Semua orang Aceh yang ada di dalam
Panas tiada tara hati berguncang
Tak sanggup mengendalikan emosi datang
Pada waktu itu kacau pun datang

Kapten kapal cukuplah tegang
Pada waktu itu dia berdebat
Dengan syahbandar dia melawan
Bahasa campuran tiada karuan
Halaman 4

Si kulit putih Inggris bangsawan
Berguncang badan merah dengan muka
Marah sekali si hudung panjang
Seolah-olah redeum ban mata

Waktu itu segera kacau tiada tara
Berbagai macam riuh menggema
Semua orang Aceh marah taida tara
Langsung menentang si biru mata

Cuma syahbandar gelap pikiran
Pada waktu itu silap pun datang
Rencong di pinggang dikeluarkan segera
Tusuk dalam badan kafir celaka

Di ujung pohon rambung sarang burung gang
Di ujung pohon mangga sarang burung cem pala
Tiwah kapten dalam kapal barang
Tida segera sampai kepada panglima

Teuku Umar Johan Pahlawan
Pada waktu itu ke sana datang
orang terkejut takut tiada tara
pada waktu itu pucat air muka
halaman 5

dalam orang ramai masuk segera
mata memandang dengan syahbandar
geleng kepala Umar Pahlawan
air mata jatuh berhamburan

apakah kita sekarang sudah gila
hai tuantuan semua anak bangsa
mengapa begini bisa kejadian
peutiwah lawan belum pada masanya

sekarang kita tiada lagi aman
dengan kejadian begini rupa
penyakit kita beli mempertali utang
besok datang siapa yang datang menagih

maafkan saya Apun segera
sungguh saya tiada sengaja
tak sanggup saya tahan panas dalam badan
gelap pikiran kilaf pun datang

begitu syahbadar menjelaskan
pada pahlawan Umar Perkasa
sangatlah malu pada waktu itu
pucat air roman lutut bergoncang

Begitulah sifat Umar Pahlawan
Ditakuti lawan musuh Belanda
Bagi orang negeri sangat segan
Begitu pahlawan penuh wibawa
Halaman 6
Setelah itu Umar Pahlawan
Minta kerelaan dan izin merata
Terpaksa sekrang sore ini segera
Saya tinggalkan tuan saudara semua

Saya tinggalkan Rigaih sekarang juga
Sebelum datang bencana
Sebab di Inggris tentu sudah jelas
Minta bantuan dari Belanda

Sungguh di sini tiada lagi aman
Dengan kejadian dalam kapal raya
Kemudian syahbandar menyahut segera
Kami semua ikut serta

Kami ikut turut pahlawan
Sama berjuang bela agama
Biar di rimba sengsara badan
Bawalah serta dengan panglima

Kalau sungguh bulat tekat semua tuan
Dalam perjuangan membela negara
Kita butuh banyak perbekalan
Dalam pertahanan di dalam rimba

Naik dalam kapal ambil semua barang
Untuk persiapan kita semua
Kalau sudah habis tiada lagi barang
Kapal biarlah karam biar tidak tampak tanda
Halaman 7

Selain membawa perbekalan
Membawa serta satu orang wanita
Perempuan buleek cantik rupanya
Perempuan tawanan dalam kapal raya

Perempuan Eropa wajah menawan
Rambutnya piran matanya biru
Sangatlah cantik putri rupawan
Cantik tiada tara dengan air wajah

Orang Inggris pada waktu itu
Kepala pening buta pikiran
Semua pelosok mengirim utusan
Semua kawasan menyuruh memata-matai

Melihat ke langit awan berkalang
Angin selatan jarang pun datang
Bangsa Belanda marah tiada tara
Mengirim pasukan ke sana datang

Gampong Rigaih mau diserang
Orang di dalam satu pun tiada lagi
Semua isi negeri ikut serta
Bersama Pahlawan ke dalam rimba

Pada waktu itu Inggris tampak pikiran
Lalu mengadakan segala sayembara
Ke dalam kampung dukun dengan pasar
Memberi utusan dengan segera
Halaman 8

Menyuruh sampaikan semua pengumuman
Pada penerangan orang Belanda
Siapa berani mengambil kembali putri
Dalam tawanan di dalam rimba

Yang ada saat ini dalam sekapan
Umar Pahlawan yang sangat perkasa
Berbulan-bulan siseuen menyelang
Satu pun insan tiada suara

Tiada yang memperlihatkan Umar Pahlawan
Biarpun sumbangan sangatlah besar
Perempuanbuleek tetap dalam tawanan
Dengan pasukan Aceh mulia

Hingga dua tahun langsung berselang
Perempuan Buleek dikembalikan lagi
Bangsa Inggris senang sekali
Karena perempuan itu sedikit pun tiadacacat

Perempuan buleek itu lantas menjelaskan
Dalam tawanan tidak pernah sengsara
Sangat agung jiwa pahlawan
Tiada bandingan hati mulia

Maaf saudaraku tang long gemilang
Bait karangan sedikit saya tukar
Saya ganti ujung supaya lebih garang
Sepaya enak dibaca
Halaman 9
Air besar berlimpah dalam sungai Lambeuso
Jalan pulang pergi Kampung Kuala
Istana Sulta di pusat negeri
Sudah jatuh ke tangan orang Belanda

Sultan pindah dari mahligai
Tiada lagi berkumpul di Kutaraja
Panglima Polem alim tiada tara
Setiap hari lawan Belanda

Teuku Umar terus mendekat
Jurang berbanjar tiada dikira
Pertama dari Rigaih hingga sampai
Dalam hutan Lamno pucuk sungai Gapa

Lewat sana ia turun atas gunung Jantho
Hingga sampai ke Kutaraja
Panglima Polem lalu berkumpul
Pahlawan nanggroe dengan Teuku Umar

Membuat peperangan setiap segi
Di sana sini di dalam kuta
Istana sultan yang sudah dalam tangan
Sikafir pindoe yang tiada beragama

Meletus perang siang dan malam
Di dalam negeri tiada reda
Senjata kafir canggih tiada tara
Tiada sama budi dengan Teuku Umar
Halaman 10

Sudah tujoh bulan hitung hampir sampai
Tetap mahligai kafir kuasa
Pasukan Aceh surut dalam negeri
Kembali pulang ke dalam rimba

Sampai terkena hujan bertali
Air sungai Meureubo melimpah keluar
Tahun 1876 Belanda pindoe
Di pasang besi untuk jalan kereta api

Rel kereta api megah tiada tara
Jalan pulang pergi ke Kutaraja
Dari Ulee Leheu tentara dimasukkan
Ke sini dibawa ke dalam Kuta

Tahun 1885 sampai ke Lambaro
besi datur jalan kereta
pasukan Aceh sudah bercerai berai
tiada lagi bersatu di Kutaraja

Pada waktu itu bertambah kacau
Pahlan negeri dengan tiba-tiba
Teuku Umar yang tiada terkira
Sudah bersatu dengan Belanda

Jatuh semangat semua pejuang negeri
bergoncang daging rakyat semua
Panglima Polem sedih tiada tara
Terduduk di sagi keluar air mata
Halaman 11

Semua pasukan hati tertampi
Waktu mendengar begitu berita
Ada yang tertuduk di pojok
Ada juga yang menangis bengkak dengan mata

Jalan berlapis atas gunung Paroe
Jalan pulang pergi ke Kuta Banda
Kawum Belanda senang tiada tara
Enak perasaan si mata Biru

Sebab Umar yang sangat berani
Sekarang bersatu dengan Belanda
Diserahkan bedil di tangan
Berbagai jenis alat senjata

Semua alat canggih yang dibawa dari negeri
Diberi ke tangan Umar perkasa
Disuruh perang bangsa yang ada dalam negeri
Pertahankan mahligai istana raya

Sekali lagi kisah saya potong di sini
Singkat kisah ini saya ceritra
Jangan panjang sekali kisah bertali
Asal bersatu kisah ceritra

Krue semangat rahmat Ilahi
Langsung saya rawi sambungan kisah
Sudah ada beberapa lama selama dikisah
Pahlawan negeri berbalik pula
Halaman 12
Teuku Umarberbalik kembali
Membela negeri nusa dan bangsa
1896 pada tahun masehi
Kisah abadi kembali lagi panglima

20 maret nyata kembali
Hari itu bukti sejarah bangsa
Pahlawan negeri yang sangat sejati
Pahlawan suci membela agama

Ke dalam rima lalu kembali
Bersama istri yang sangat dicintai
Dengan Cut Nyak Din seorang srikandi
Sangat serasi mempertahankan negara

Senjata dari kafir lalu dibagikan
Kepada orang ahli perang membela bangsa
Dengan Nyak Muhammad mengikat janji
Serta lagi Husen Lung Bata

3 mukim Lambaro bersatu kembali
Bertambah lagi semua rakyat
Rakyat dari Lam Pue bercampur serta
Ikut selalu membela negara

Teuku Cut Tungkop melanjutkan lagi
yang lain lagi beribu semua
semua rakyat Acehbangun kembali
mengikat janji ikrar setia
halaman 13

pergi ke Meulaboh istirahat di Keuluang
Lihat burung walet pulang ke gua
Wahai saudara ku perempuan dan laki-laki
Bait tulisan saya ubah lagi

Sangatlah malang sayang tiada tara
Istana sultan masih diganggu orang
Panglima Polem tidak mau serta
Umar pahlawan tidak mau dipercaya

Setiap sagi Aceh pada waktu itu berperang
Semua rakyat melawan kafir Belanda
Panglima Polem dengan pasukan
Dalam persembunyian di Gunung Raba

Sultan Aceh Aceh di situ serta
dengan angkatan semua bala tentara
kafir penjajah sangatlah kejam
diusir sultan dalam istana

Teuku Umar pimpinan pasukan
Kafir diserang setiap saat
Tidak cukup lagi kepala hampir gila pening
Kafir waktu itu tidak sampai menduga

Banyak sekali mati kafir dalam perang
Banyak sekali korban tidak sanggup lagi hitung
Tidak sanggup lagi hitung meukaheung badan
Terkena senapan Umar perkasa
Halaman 14

Kampung Cina di Ranto Calang
Kampung Lam Asan di Lamno Jaya
Saya coba ubah lain wahai handai taulan
Ujung baitan yang lain pula

Atas Glee Kapai kayu besar batang
Cabangnya rampak di sekeliling
Pasukan Umar akhirnya nyata
Membuat tempat benteng perkasa

Di Aneuk galong di situ tempat
Benteng besar sekali di sana dibangun
Di dalam benteng mengatur siasat
Serangan kilat depan istana

Tentara penjajahbertambah marah
Menyuruh kirim alat dari pulau Jawa
Seorang panglima yang besar pangkat
Ahli siasat hebat sekali

Jenderal Vutter namanya nyata
Sangat hebat dalam perang gerilya
Dari situ bermula langsung sangat dahsyat
Perang cukup berat di Aceh Raya

Dari Cot Reung sangatlah hebat
Lam Barih dahsyat perang tiada reda
Lamcot Seuneulop berkalang asap
Belanda jahat menyiksa orang
Halaman 15
Aneuk Galong dikepung nyata
Langit tampak pucat asap berhamburan
28 Juni dalilnya tepat
1896 tahun yang nyata

Perang Aneuk Galong yang sangat hebat
Nyak cukup dahsyat sejarah bangsa
800 pucuk senjata dipegang
Pasukan Aceh hebat mulia

Tetapi Belanda lebih hebat sekali
Sangatlah lengkap berbagai rupa
131sendiri di sana
Berganjal jasad syuhada bangsa

Di dalam rumput selintang meuhat
Bertindidh jasad para syuhada
Pasukan Aceh sangat melarat
Kafir sang kilat sangatlah kejam

Mayat bertabur setiap tempat
Di sana tempat tempat pejuang bangsa
Sangat pedih waktu teringat
Setiap sagi tempat mayat terlentang

Teuku Umar tidak jatuh semangat
Pikiran bulan seperti baja
Keringat di badan berkilau-kilau
Mengangkat bedil dengan semua rakyat
Halaman 16

Sejengkal tanah dipertahankan
Walau melarat disurut tiada
Kafir Belanda korban cukup berat
pasukan banyak sekali di sana binasa

tidak sanggup lagi hitung berganjal jasad
si kafir laknat keluar mata
terkena di tengkuk pecah kepala
berhamburan otak keluar

yang terkena di punggung selintang tepat
di situ berputar nyawa keluar
yang terkena di perut keluar semua urat
kafir sangkilat menjerit-jerit

Allah Akbar Umar berkata
Puji Hazarat yang Maha Esa
Bertambah berani dengan serta merta
Kembali semangat luar biasa

Pasukan Umar samag dengan rakyat
Panas berasap di dalam dada
Perang melawan kafir semakin meningkat
Bertambah dahsyat dari yang sudah

Ramai ketika gelap di Kota Langkat
Hari ahat di Lamno Jaya
Panglima Polem sangatlah sayang
Tidak mau berkumpul dengan Teuku Umar
Halaman 17

Pada waktu itu Umar merubah siasat
Tidak lagi mengejar melawan Belanda
sebab musuh sedang lagi kuat
berhenti sebentar semua pasukan

wahai saudara kawum sejawat
bait tersurat saya balik lain
jangan sampai bosan rakan dan sahabat
itulah seba saya ubah kemudian

Allahdulillah limpah pujian
Yang menjadikan alam langit dan bumi
Orang Belanda sangatlah paham
Hajat pahlawan tahu rahasia

Empat penjuru bangun pasukan
setiap simpang di bangun tentara
Banyak sekali korban rakyat pada waktu itu
syahid meukuyan pejuang bangsa

sangat biadab rakyat semua diperang
begitulah kejam siputih mata
orang tiada salah juga disamakan
tiada disayang sebelah mata

meninggalkan Sibreh sahih waktu itu
Bawa lari pasukan ke dalam rimba
Sebagian dalam kawah menyelamatkan badan
Sebagian lari ke sawah berenang di rawa
Halaman 18
Ada juga sebagian yang ditawan
Dalam tahanan ke sana semua dibawa
Ada juga yang sedang lari langsung meutimphan
Jatuh badan terkena senjata

Ada yang jatuh di dalam sawah
Ada yang di jalan jatuh korban
Ada yang di dalam rawa putus terpotong-potong
Terkena klewang kafir Belanda

Yang masih tinggal dengan Pahlawan
Semua pasukan yang setia
Ke kampung Lamteh ke sana datang
Atur pasukan di pinggir rimba

Di kampung Lamteh rintis pasukan
tegakkan barisisan semua bala tentara
tetapi waktu itu paling sial
karena diketahui oleh Belanda

ke kampung Lamteh kirim pasukan
dengan bermacam alat senjata
bulan Agustus jatuh bilangan
tempat itu menurut kisah

1897 meletus dalam perang
Dengan iringan semua mata-mata
Pasukan Aceh menunggu di sana
Dengan pimpinan Umar perkasa
Halaman 19

Jalan kelililing tebing dengan jurang
Di sana Phlawan memimpin tentara
Di sana kafir mati meukuyan
Sebab serangan dengan tiba-tiba

Satu-satu dipancung meutimphan
Dengan klewang yang tajam mata
Satu pun tiada ampung semua dicincang
Seperti membunuh babi rimba

Ada satu orang kafir sangat tampan
Tubuhnya tinggi gagah perkasa
Orangnya tampan rambutnya pirang
Besar badannya kelabu mata

Dia mau lari ke dalam jurang
Namun Pahlawan menghalang lanja
Hai anjing buleek kembali ke sini
Saya kamu lawan kalau kamu berani

Mencabut rencong langsung menghujam
Sangat garang Umar Perkasa
Tetapi sibuleek sangatlah paham
Badannya melinggang rencong berputar

Menarik langkah gagah tiada tara
Langsung menyerang tubuh Panglima
Kowe Extimeest wahai beruang
Begitu ia katakan pada Panglima
Halaman 20

Umar marah tiada tara
Rencang dipaku terkena di dada
Di sini terguling si kafir rambut pirang
Di sana terjatuh memanggil ibu

Pasukan Aceh sangat senang
sangat senang hati gembira
semangat jiwa dengan kemenangan
semua pasukan bersuka ria

ular mengeluarkan sarung di kampung Rigaih
Titi sudah patah di pantai Purba
Panglima negeri langsung perintah
Lamteh kita simpan kita akan pergi

Sebab Belanda akan sampai langkah
Pasukan dikerah ke sini datang
Itulah sebab kita tinggalkan segera
Kita hijrah ke dalam rimba

Malam bergati hari berubah
Kalau lapar dengan haus tiada dikira
Pertama anak gunug masuk dalam culah
Mengayun langgkah ke dalam rimba

Karang bercula dalam rimba Allah
Mencari cara jalan dicari
Habis diarung lorong dengan sungai
Harimau dengan gajah tiada dihirau
Halaman 21
Berpulu-puluh gunung masuk jelajah
Dengan susah payah pagi dengan senja
Hujan dengan badai sampai selamat
Tentara dituntun oleh Panglima

Hangga waktunya Pahlawan gagah
Jalan batu terbuka pucuk sungai Raba
Dengan tiba-tiba perang meletus lagi
Tentara penjajah ke sana tiba

Di dalam rimba berenang darah
Pasukan jatuh bertubi-tubi
Begitu juga kafir penjajah
Tentara jatuh tewas bertubi

Setelah itu dalam sejarah
Di dalam kisah perang membela bangsa
Ke Pidie dalil yang jelas
Ke sana sangat sah pasukan datang

Ke negeri Tiro berkumpul cepat
Dengan seorang alim ulama
Teungku Chik Ditiro seorang yang gagah
Lawan penjajah kafir Belanda

Wahai saudar perempuan dan laki-laki
Bait tulisan saya ubah pula
Tida saya potong ujung karangan
Tetap sambungan menurut kisah
Halaman 22

Jalan cerita tidak saya pangkas
Bukan saya memperpendek kisah
Tetapi buhu sedikit berubah
Supaya bacaan bertambah seru

Siasat Umar licik tiada tara
Belanda pening sakit kepala
Sudah lama waktu berselang
Umar Pahlawan tidak didapat

Pihak Belanda sudah banyak korban
Mati pasuk tidak sanggup lagi dihitung
Apalagi senjata alat dalam perang
Dibawa lari serta oleh Teuku Umar

Banyak sekali rugi segi keuangan
Dalam pemerintahan Hindia Belanda
Uang kas negera banyak sekali korban
Biaya perang di Aceh Raya

Lalu Belanda merancang cara
Supaya lemah lawan dicari cara
Pejuang Aceh ditutup hubungan
Tali ikatan dengan negeri luar

Semua ke Pidie dikerah pasukan
Berbagai macam jenis senjata
Dibangun benteng kokoh tiada tara
Lengkap barisan pasukan kuda
Halaman 23

Di luar benteng atur meriam
Berbagai macan ke sana tiba
Waktu meletus riuh tiada tara
Langit berkalang asap membumbung

Pasukan Umar pada waktu itu lari kembali ke dalam rimba
Sebab di Pidie posisi goyang
Setiap hari Tuhan serangan datang

Ke dalam rimba membawa pasukan
Umar Pahlawan langsung berangkat
Tentara marsose selalu menghadang
Umar pada waktu itu cukup sengsara

JB van Heutsz yang memegang pimpinan
sangat ahli perang dari Belanda
sangat pandai memainkan klewang
orang dicencang tidak sanggkup kita hitung

sampai ke Gayo Umar berjalan
dengan pasukan yang seadanya
habis raja Cut dalam kerajaan
berdamai segera dengan Belanda

Tetapi Umar Johan Pahlawan
Sangatlah pantang mengkhianati bangsa
Walau melarat tetap berjuang
Di jalan Tuhan membela Agama (bangsa)
Halaman 24

Di Lhok Seumawe Pantai Ujung Blang
Aceh Selatan Ujung Serangga
Huruf lain gati sekali lagi saudara
Ujung babakan hampir tamat kisah

Kemudian akhir sampai tiba langkah
Ke sana wilayah Meulaboh Raya
Di Ujong Kalak di sana Allah menggerak
Panglima gagah terkena senjata

Di sana di hutun terlentang jatuh
daun rumpun merah saksi nyata
badan Panglima ratanya basah
berenang darah di dalam rimba

wahai saudara saudara yang berbahagia
saya kamu simpan jangan lagi diingat
sambung berjuang pantang menyerah
Serambi Mekkah tetap kamu jaga

Kepada handai taulan saya mohon maaf
Mungkin ada salah suatu dosa
Sampaikan salam saya ke setiap wilayah
Yang saya simpan selama-lama

Sudah sampai waktu saya kembali kepada Allah
Sampaikan segera kepada handai taulan semua
Sudah sampai di sini janji dari Allah
Bagaimana saya katakan sudah sampai masa
Halaman 25

Kata-kata terakhir Pahlawan gagah
Waktu itu jatuh keluar dengan mata
Semua pasukan mukanya basah
Yang mengalir darah di dalam dada

Tubuh Panglima langsung dituntun
Mencari cara segera membawa lari
Walau di belakang ribut sekali
Kafir penjajah mengejar terus

Teuku Umar sangat megah sekali
di sana tewas pada akhir masa
tujuh kuburan yang jelas dikatakan
di dalam kisah perjuangan bangsa

di sana dibangun oleh pemerintah
mengenang kisah Umar Perkasa
satu tugu bentuk kopiah
lambang sejarah untuk anak bangsa
halaman 26

Kata Penutup

Beribu puji kepada Tuhan
Berlimpah pujian tidak terhingga
Diberi syafaat enak dengan badan
Tamat karan satu ceritra

Kembali kepada saudara handai taulan
Isi di dalam sejarah bangsa
Sebuah kisah pada masa silam
Seorang pahlawan membela agama

Beri kritik, saran dan kesan
Kepada saya yang tulis ceritra
Saya sadari isi karangan
Sangatlah kurang belum sempurna

Menulis hikayat yang permulaan
Inilah tulisan yang pertama
Kisah saya susun saya kumpulkan segera
Dari cerita orang tua-tua

Hampai di sini wahai muda sedang
Akhir karangan saya tutup kisah
Kalau ada umur diberi oleh Tuhan
Lain karangan bertemu pula

Banda Aceh, 2003

Wassalam pengarang


MUJAR MS

Senin, 16 Februari 2009

TEUKU PANGLIMA MAHARAJA TIBANG MUHAMMAD


Oleh: J. A. Vink


Setiap perwira yang bertugas di Aceh pasti mengenal Panglima Tibang. Saya memperoleh kesempatan menulis ringkasan sejarah hidupnya. Karenanya, agar diketahui umum, saya mengharapkan bantuan redaksi Indisch Militair Tijschrift untuk memuatnya dalam majalah tersebut.


Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad bukan keturunan Aceh. Ia berasal dari Lahore, Hindustan yang datang ke Aceh selagi masih anak-anak. Tadinya ia berdiam pada uleebalang Gigieng Bentara Keumangan di pantai Utara Aceh dan tidak lama antaranya ia berada dalam lingkungan terdekat Sultan Aceh.
Sejak pemuda ia telah memperlihatkan dirinya sebagai seorang panglima perang. Atas jasa-jasa yang diberikan sultan telah menghibahkan kepadanya sebuah kampung yang bernama Tibang sebagai hak miliknya yang pada waktu itu mencakup sepuluh buah menunasah. Disebabkan hibah inilah ia menggunakan gelar Panglima Tibang.
Berturut-turut sultan menugaskannya untuk memangku berbagai jabatan dan bertahun-tahun lamanya ia diberi tugas untuk mengutip biaya negara, mula-mula sebagai wakil syahbandar, kemudian sebagai syahbandar kerajaan dan berkali-kali pula sebagai panglima laut untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di daerah-daerah pantai dalam mencegah tindakan bajak laut yang pada masa itu bahkan turut dilakukan oleh keluarga terdekat sultan sendiri dan selanjutnya untuk mengatur masalah-masalah politik kerajaan.
Seperti halnya dengan Raja Pidie, mertua sultan, yang karena hubungannya dengan sultan menggunakan cap bergelar Khadam Sultan Aceh, maka begitu pula Panglima Tibang pada waktu pengangkatannya diserahi cap sultan yang bergelar demikian. Arti khadam adalah hamba yang setia merangkap penasihat sultan.
Sultan Mansur Syah (1836-1870) lama sekali terlibat dalam peperangan dengan uleebalang-uleebalangnya yang memberontak ketika putra sultan yang lalu –bernama Raja Sulaiman – masih kecil dan berada di bawah perwalian Mansur Syah.
Peperangan itu berlanjut sampai setelah Raja Sulaiman meninggal (dikuburkan di II mukim) dengan meninggalkan seorang putra yang kemudian dikenal dengan nama Mahmudsyah. Permusuhan itu baru berakhir dengan suatu perdamaian dan diserahkan putra Raja Sulaiman dalam asuhan Mansur Syah.
Jika kewibawaan sultan pada waktu itu sudah amat lemah, maka kewibawaan itu menjadi lemah lagi dengan munculnya Habib Abdurrahman di Aceh yang dengan kelihaian dan kesigapannya dapat menguasai rakyat dan para uleebalang, lagi-lagi dengan menggunakan nama sultan.
Demikianlah pada suatu waktu Habib Abdurrahman menuntut diserahkannya kekuasaan sultan ke tangannya setelah ia terlebih dahulu menjadi kadi kepada kerajaan dengan maksud – demikian tujuannya – agar semua urusan di Aceh dapat dijalankan menurut ketentuan-ketentuan Islam sejati.
Dalam keadaan kacau itulah Panglima Tibang menyebelahi sultan yang berada dalam keadaan terjepit dengan menentang instrik-intrik yang amat berbahaya itu.
Dalam keadaan itu timbul keyakinan pada Panglima Tibang (yang disetujui sepenuhnya oleh Sultan Mansur dan Mahmudsyah) bahwa hanya dengan ... luar negeri sajalah wibawa sultan dapat dipulihkan. Itulah sebabnya mengapa Tibang atas nama sultan diutus untuk mengadakan perundingan dengan pemerintah Hindia Belanda.
Pada waktu diadakan perundingan yang disusul kemudian dengan pecahnya peperangan pada tahun 1873 sultan benar-benarnya menjadi tawanan di tempat kediamannya sendiri. Ia diancam oleh para uleebalang supaya menyerahkan Panglima Tibang untuk dihukum karena Tibang –demikian berita-berita yang tersiar diluaran – bermaksud hendaknya menjual negeri Aceh kepada kompeni Belanda.
Pernyataan perang oleh pihak Belanda dan tembakan-tembakan meriam yang dilepaskan oleh kapal-kapal perangnya demikian terpikir oleh Panglima Tibang – merupakan tantangan besar dalam menghadapi para uleebalang yang salama ini menganggapnya sebagai salah satu seorang pengkhianat Aceh. Pada hari-hari pertama tahun 1874 Panglima Tibang lagi-lagi melakukan tugas penting.
Penyakit kolera berkecamuk di kalangan penghuni-penghuni Dalam. Setiap hari tidak kurang dari 150 mayat yang dikebumikan . Beberapa hari sebelum terjadi perebutan Dalam oleh Belanda banyak rakyat Aceh yang menyingkir dari Dalam, baik karena khawatir akan dihinggapi kolera maupun akan menjadi korban-korban bayonet Belanda.
Sultan dan Panglima Tibang adalah orang-orang terakhir yang meninggalkan Dalam (menurut perkataan Panglima Tibang sendiri). Dalam pada itu sultan dihinggapi kolera sesampai di Pagaraye’ ia tidak dapat meneruskan perjalanannya lagi .
Seperti diketahui di tempat tersebut Sultan Mahmud Syah meninggal akibat kolera. Merasa takut kalau-kalau ditangkapi Belanda, maka Panglima Tibang membawa putra sultan yang ketika itu masih berumur 4 – 5 tahun – yaitu Sultan Aceh yang sekarang berada di Keumala – melalui Lambaro ke Luthu dalam VII mukim dan menyerahkannya kepada Teuku Baet seraya menyampaikan khabar bahwa sultan telah meninggalkan dengan mengucapkan “dan ini adalah sultan yang baru”.
Pada saat itu Panglima Tibang yang selama inipun sudah mulai merasa tidak sehat, jatuh sakit selama delapan hari dan hampir saja ia meninggal dunia.
Setelah merasa sembuh dari penyakitnya berangkatlah Panglima Tibang ke Keumala. Enam bulan kemudian ia menuju ke daerah Teuku Bentara Keumangan. Ia selalu mengadakan hubungan dengan keluarga Keumangan. Panglima Tibang tidak turut dalam peperangan yang terjadi antara Belanda dengan Aceh. Pada waktu itu ia berada di pedalaman Gigieng menanam Pala.
Panglima Tibang baru muncul di pentas politik karena dihubungi asisten-asisten A. Soal tahun 1878. Ia pun menyetujui untuk ikut dengan Belanda ke Aceh Besar.
Jenderal Van der Heijden pun menganggap perlu mempekerjakan Panglima Tibang dalam dinas pemerintahan Hindia Belanda. Bukankah pada masa itu tidak ada orang lain di Aceh yang sangat paham dengan berbagai masalah Aceh serta yang mengenal baik uleebalangnya ? Ia dipekerjakan Belanda untuk mengetahui sejauh mana hubungan para uleebalang dengan sultan yang kini sudah menjadi alat pemerintah Hindia Belanda dan sejauh mana kesetiaan mereka itu terhadap sultan pada masa-masa sebelumnya.
Berkat perjalanan-perjalanan yang dilakukan oleh Panglima Tibang pihak Belanda berhasil memperoleh banyak keterangan mengenai keadaan negeri dan sumber-sumber bantunya. Selama bertugas pada pemerintah Hindia Belanda Panglima Tibang telah memperlihatkan dirinya sebagai seorang ahli yang dapat dipercaya dan rajin melaksanakan perintah-perintah yang diberikan kepadanya.
Kedudukannya dalam memenuhi tugas-tugas itu memang sukar dan tidak menyenangkan, terutama dalam menghadapi para uleebalang yang tidak bermuka dua. Dalam hal ini kadang kala Panglima Tibang terpaksa bertindak keras terhadap mereka itu.
Kendatipun tindakannya tidak selalu terpuji, tetapi semua itu memperlihatkan betapa besar usaha Tibang dalam memenuhi kepentingan-kepentingan pihak Belanda di samping ia benar-benar berdiri di luar intrik-intrik pihak Aceh. Oleh karena itu, Jenderal Van der Heijden telah mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar kepada Panglima Tibang diberikan penghargaan berupa bintang jasa mas. Selain itu, kepadanya telah dianugrahi gelar Panglima Maharaja dan terakhir sekali Salib Eskpedisi dalam keikutsertaannya dengan pasukan-pasukan Belanda dalam Sagi XXII dan XXVI.

HABIB ABDURRAHMAN AL ZAHIR

Oleh: Alexander


Berkat kebaikan Kapten Laut van der Hegge Spies yang
telah membantu saya memperlihatkan berbagai surat penting, saya memperoleh kesempatan untuk lebih mengenal dari dekat salah seorang penting pada masa peperangan di Aceh, yaitu seorang Arab bernama Habib Abdurrahman Al Zahir yang sekian lama merupakan jiwa perlawanan terhadap pemerintah Belanda dan kini berdiam di negeri Arab.
Seperti diketahui Habib dibawa ke sana pada permulaan tahun lalu dengan menumpang kapal uap Zr. Ms. Curacao yang dinakhodai perwira di atas dan untuk kebaikannya itu pada tempat ini secara terbuka saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Sejauh pengetahuan saya keterangan-keterangan penting berikut ini saya catat dari mulutnya sendiri – jadi otentik sekali – belum lagi diketahui orang ramai. Berdasarkan hal itu pula saya menganggap ada baiknya untuk menulis sejarah hidup tokoh tersebut bagi pembaca De Indische Gids yang saya catat menurut keterangan Habib sendiri.
Habib Abdurrahman dilahirkan di Hadramaut (negeri Arab) tahun 1832 (1249). Tahun 1834 ia dibawa oleh ayahnya, bernama Mohamad Al Zahir, ke Malabar. Ibunya telah meninggal tidak lama setelah Habib dilahirkan. Di Malabar ia memperoleh ibu tirinya karena ayahnya kawin lagi.
Pada usia 5 tahun (1837) ia dibawa oleh ayahnya ke Mesir untuk memperoleh pendidikan membaca dan menulis terutama dalam hal mentafsirkan Al Qur’an. Tahun 1842 ia kembali ke Malabar dari sana ia berangkat ke Kalikut untuk menyelesaikan pendidikannya. Tahun 1848 ayahnya menugaskan untuk melakukan perjalanan sepanjang pantai India ke Sailan dan negeri Arab guna menambah kecerdasannya. Setelah itu, Habib berdiam di Mokka. Di sana ia kawain dengan putri seorang raja yang telah meninggal sebagai ucapan terima kasih raja itu kepada Habib. Setelah meninggal ayah istrinya, semua harta kekayaannya digerogoti sanak saudaranya yang tamak, tetapi berkat daya upaya Habib, walaupun ia tidak mengenalnya secara pribadi semua itu kembali menjadi milik istrinya. Ketika Habib berada di Aceh ia menerima berita tentang kematiannya.
Ia berdiam di Mokka selama setahun setengah. Setelah itu ia pergi ke Mekah. Dari sana ke Konstantinopel untuk selanjutnya ke Malabar dan disana ia kawin lagi. Di sini ia berdiam hanya beberapa bulan saja, segera ia berangkat ke Kalikut dan di sana ia kawin lagi serta memperoleh seorang putri yang ia namakan Syarifah Fatimah.
Beberapa tahun kemudian, Habib pindah ke Hydrabad. Raja di tempat itu sangat senang kepadanya. Habib membuat sejenis obat minum bagi untuk memperoleh putra yang sampai sekarang tidak dipunyainya. Usahanya itu makbul kemudian ia berhasil membujuk pelindungnya supaya meninggalkan agama Hindu dan menganut agama Islam. Sebagai ucapan terima kasihnya raja itu mengangkat Habib menjadi Jamidar, yaitu panglima yang mengepalai 1.000 orang prajurit. Hanya sebelas bulan ia menjabat pekerjaan itu. Ia minta berhenti dan dikabulkan lalu berangkat ke Kalkuta. Di sana ia bertugas sebagai pembuat perhiasan-perhiasan emas atau lebih tepat sebagai tukang emas karena selain membuat perhiasan-perhiasan emas ia ahli juga dalam menyepuh barang-barang bukan emas. Bahkan ia dapat memurnikan biji-biji emas yang dijual di pasar. Betapa pun kurang penting arti pekerjaannya itu, tetapi ia memperoleh untung yang cukup besar. Menurut keterangannya sehari ia memperoleh penghasilan lebih kurang 100 ringgit dan dapat dimengerti jika dengan ia sanggup menyewa sebuah vila dengan sewa 600 ringgit sebulan.
Selama bertahun-tahun di Kalkuta ia banyak menabung uang. Semangat petualangan membakar jiwanya kembali kemudian ia berangkat ke Eropa untuk memenuhi maksudnya yang sudah sekian lama direncanakannya. Ia mengunjungi Italia, Jerman, dan Perancis, kemudian kembali ke Hindia Inggris melalui Kontantinopel. Di ibukota Kerajaan Turki Habib diterima dengan berbagai penghormatan karena selain ketinggian ilmunya juga disebabkan keturunannya yang secara umum diakui langsung berasal dari Nabi Muhammad dan mempunyai nama harum di dunia Islam.
Gagasan Habib terhadap Islam tampak aneh. Seperi halnya banyak orang Islam yang telah berpendidikan Habib menganggap bahwa agama Islam adalah agama yang paling baik, tetapi bukan satu-satunya agama yang diturunkan Tuhan dan karenanya ia sangat menghormati kebaikan-kebaikan yang terdapat agama-agama lain. Terutama ia sangat menentang sikap tidak dapat menahan diri yang dimiliki banyak penganut agama Islam. Ia minum anggur dan tidak sering mengerjakan sembahyang seperti yang tampak ke luar.
Jika ditanyakan kepadanya mengapa ia tidak patuh menjalankan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Al Qur’an ia menjawab bahwa ketentuan-ketentuan itu hanya berlaku sejauh yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad, sedang Nabi tidak pernah melarang orang minum anggur hanya penyalahgunaan yang dilarang oleh Nabi bahwa para pengikut Nabi menyamakan ketentuan minum anggur serupa dengan penyalahgunaannya. Hal ini tidak berlaku bagi Habib. Namun hal demikian tidak mengurangi penghormatan orang-orang Islam terhadap Habib. Hal ini terbukti dari sering kalinya mereka mencium ujung-ujung pakaiannya.
Sekembalinya dari Eropa berturut-turut ia mengunjungi Bombay selama 3 bulan, Hydrabad 7 bulan, Kalikut 3 bulan dan Singapura 11 bulan. Di tempat terakhir ia berkenalan dengan Maharaja Johor. Di sana ia bekerja dengan penghasilan 2.000 ringgit setahun. Berkat usaha Habib, di Johor banyak dilakukan pembangunan dan pembuatan jalan-jalan yang baik, sementara urusan pemerintahan dalam negeri menjadi lebih baik. Satu setengah tahun kemudian ia minta berhenti dari pekerjaannya. Habib memperoleh surat penghargaan dari Maharaja atas jasa-jasa pentingnya terhadap negeri.
Dari Johor Habib bertolah ke Pulau Pinang di sini ia berdiam selama sebulan lamanya. Setelah itu ia berangkat ke Pidie dengan sebuah sekunar dan selanjutnya ke Aceh dengan sebuah perahu sampan. Ia berada di Kampung Jawa selama 3 hari kemudian ia menjumpai Habib Muhammad Mahaldi di kampung Lam Seupeueng ini terjadi di bulan Jumadil Awal tahun 1221 H (1864). Tokoh tersebut telah memperkenalkan Habib kepada sultan yang menerimanya dengan baik setelah melihat surat penghargaan diberikan oleh Maharaja Johor serta mengangkatnya sebagai kepada Mesjid Raya.
Pada waktu itu di Aceh banyak terjadi perpecahan di dalam negeri dan pertikaian di antara sesama kepala rakyat sedang kekuasaan sultan tidak berarti sama sekali. Berkat pengaruh Habib yang dalam pada waktu itu telah kawin lagi, kekuasaan sultan tambah meluas dan terjadi perbaikan-perbaikan di dalam negeri.
Pada waktu itu sultan mempunyai rencana bahwa jika ia meninggal kelak ia akan menyerahkan takhta Kerajaan Aceh kepada penggantinya yang berhak yaitu putra Sultan Sulaiman Iskandar bernama Tuanku Mahmud. Karenanya ia bermaksud agar pangeran tersebut yang selama ini berada dalam kekuasaan Teuku Muda Baet di Kampung Lam Teungoh dibawa ke Dalam Sultan. Habib ditugaskan untuk melaksanakan rencana itu. Untuk itu, ia memperoleh kuasa penuh serta 2.000 orang prajurit dan langsung menuju ke III mukim Cot Putu. Di sana ia mengerahkan lebih banyak lagi rakyat beserta kepalanya dan dengan kekuatan sebanyaknya 20.000 orang ia menuju ke Kampung Lam Teungoh. Setiba dekat kampung itu, Habib menghentikan pasukannya dan mengirimkan seorang utusan bernama Syeikh Abdu’r Rahman ke rumah Teuku Muda Baet untuk mengusahakan supaya Tuanku Mahmud dapat diserahkan secara damai kepada sultan. Oleh karena Teuku Muda Baet tidak berada di rumahnya, maka usaha Syeikh Abdur Rahman tidak begitu sukar untuk mengajak Tuanku Mahmud ikut bersamanya. Sesampai di Pagaraye’ melalui Cot Putu Habib menyampaikan keberhasilan usahanya. Sultan mengutus beberapa orang uleebalang untuk menjemput Tuanku Mahmud dan sejak itu tuanku berada bersamanya di Dalam.
Teuku Muda Baet sangat marah atas hilangnya Tuanku Mahmud. Ia berhasil membujuk para kepala rakyat lain untuk menentang kekuasaan sultan. Ketika berita itu sampai ke Habib sekali lagi ia minta kuasa kepada sultan dan dengan rakyat yang semaakin bertambah Habib melintasi daerah III sagi yang sedang menentang sultan. Berkat kekuatan serta kepasihannya berkata-kata Habib berhasil membujuk para pengikut Teuku Muda Baet. Kemudian ia menghadapi Teuku Nanta, satu-satunya kepala rakyat yang masih mau mengakui kekuasaan sultan. Akhirnya –melihat kepada kekuatan Habib – Teuku Nanta pun takluk dan dalam tempo 8 hari Habib berhasil menaklukkan semua uleebalang di daerah itu. Atas jasa-jasanya itu sultan mengangkatnya sebagai kepala urusan agama dan memberi kepercayaan kepadanya untuk memerintah di Cot Putu dalam III mukim.
Habib sadar bahwa sebagai orang asing banyak orang yang cemburu terhadapnya. Agar dapat tetap dalam jabatannya itu ia berusaha kawin dengan salah satu putri uleebalang yang sangat terkemuka. Setelah terjadi hal yang disebut di atas dan selagi Teuku Muda Baet berada di Kutaraja sebagai tawanan Habib berhasil membujuknya dengan membayar 400 ringgit supaya dapat kawin dengan kakaknya. Akibat perkawinan itu Habib menjadi lebih terpandang di kalangan rakyat, bukan saja karena Pocut adalah kakak salah satu seorang uleebalang terkemuka, tetapi juga karena ia janda Sultan Sulaiman Iskandar.
Akan tetapi, tidak lama setelah Teuku Muda Baet kembali ke daerahnya timbul perasaan keberatan pada dirinya untuk menyerahkan kakaknya itu. Mula-mula ia berjanji akan menyerahkannya setelah masa tiga bulan kemudian ia menerangkan bahwa hanya dengan kekuatan senjata saja Habib dapat memperoleh kakaknya. Habib berusaha ke arah itu. Dengan sebuah pasukan yang kuat Habib berangkat ke Cot Bada dan mendesak Teuku Muda Baet supaya menyerahkan kakaknya. Akhirnya, Pocut dapat juga dibawa oleh Habib ke Cot Putu. Dalam pada itu tampaknya telah terjadi perdamaian antara Teuku Muda Baet dengan Habib dan sejak itu –demikian keterangan Habib- terbinalah suatu persahabatan yang sangat akrab di antara kedua mereka.
Sultan merasa sangat kagum terhadap hasil peperangan yang diperoleh Habib dalam waktu yang sangat pendek itu. Lawan-lawan Habib (yang terpenting di antaranya adalah Teuku Kali Malikul Adil) berusaha memftnah Habib kepada sultan. Menurut mereka, maksud Habib tidak lain hanyalah untuk mempertahankan suatu kekuatan bersenjata yang besar, yang pada suatu waktu akan dipergunakannya untuk melawan sultan. Namun sultan tetap mempercayai Mangkubuminya, demikian gelar yang diberikan kepada Habib. Nama Habib semakin menanjak. Ia memperoleh kepercayaan sultan. Sultan telah membenarkan antara lain agar Habib membangun mesjid raya dan memberi kuasa kepadanya untuk menerima perkayuan dari para uleebalang yang diperlukan untuk pembangunan itu. Ketika seluruh perkayuan terkumpul di Peunayong Habib mengadakan kenduri yang dihadiri banyak penduduk Aceh Besar, termasuk para uleebalang dan rakyat biasa. Seusai kenduri dimulailah pembangunan mesjid. Sultan sendiri menyerahkan sumbangan sejumlah 3.000 ringgit dan dalam perjalanan ke Pantai Barat Habib berhasil mengumpulkan sumbangan sejumlah 3.300 ringgit pula.
Akan tetapi, pada waktu Habib tidak berada di tempat, lawan-lawannya telah mengadakan usaha baru untuk memfitnahnya pada sultan. Mereka menerangkan bahwa maksud Habib yang sesungguhnya ke Pantai Barat Aceh adalah untuk membeli senjata beserta pelurunya yang kelak akan dipergunakannya untuk maksud-maksud buruk. Mula-mula sultan menutup telinganya terhadap fitnah itu. Tetapi sewaktu lawan-lawan Habib semakin bertambah juga dan fitnah semakin banyak, maka mulailah sultan menyangsikan iktikad baik orang asing itu. Sepulangnya Habib dari perjalanan itu segera ia melihat tanda-tanda kesangsian sultan terhadap dirinya. Segera ia meminta berhenti dan bertolak ke Mekah melalui Pulau Pinang.
Di tempat ini ia memperoleh surat-surat kepercayaan yang diberikan oleh Syarif Agung, Abdullah Basyah, Syarif Jiddah Moamar Basyah dan bekas gurunya Tadlak dan dengan itu segera ia kembali langsung ke Aceh. Setibanya di pelabuhan ia mengirimkan surat kepada sultan yang menerangkan bahwa ia sudah kembali ke Aceh dengan maksud hendak menjemput istrinya untuk dibawanya ke Mekah. Tak lama kemudian datang dua orang utusan sultan ke kapal Habib menjelaskan kepada mereka hal yang serupa. Kepada mereka ia menyerahkan surat-surat kepercayaan dengan permintaan supaya mereka memperlihatkannya kepada sultan.
Setelah memaklumi isi surat-surat kepercayaan itu sultan mengundang bekas Mangkubuminya ke Dalam yang dipenuhi oleh Habib. Sultan sendiri menunggu di pantai dan menemaninya sampai ke dalam, takut kalau-kalau di tengah jalan Habib akan dibunuh oleh lawan-lawannya. Lagi-lagi Habib dijadikan kepala urusan agama dan kepala mesjid raya serta diangkat sebagai uleebalang Cot Putu. Tidak lama antaranya sultan mengangkat wazir. Demikianlah Habib berhasil menciptakan ketenangan dan ketentraman dalam pemerintahan Aceh. Penghasilan sultan semakin bertambah dan dibayar pada waktunya. Para uleebalang menjadi semakin marah kepada Habib. Namun kedengkian mereka tidak dapat membayangkan Habib karena sultan tidak mau lagi berbicara dengan mereka dan menyuruh mereka supaya berhubungan dengan wazirnya.
Habiblah yang menyarankan sultan supaya memberi keizinan kepada orang-orang Belanda untuk datang berniaga ke Aceh, ia menyadari, bahwa semua itu akan memberi keuntungan bagi kerajaan. Sultan sendiri tidak berani mengambil keputusan. Untuk itu, ia perlu mendengar pendapat dewan yang terdiri dari beberapa orang terkemuka yaitu Teuku Kali, Teuku Imeum Leung Bata, dan Teuku Nek Meuraksa. Masalah tersebut dibicarakan dengan dihadiri oleh Habib. Semua mereka itu sangat menyetujui pendapat wazir dan karenanya diputuskanlah untuk mengirimkan Habib bersama Teuku Kali dengan kapal Paty sebagai utusan sultan untuk menemui gubernur jenderal di Betawi. Begitu para uleebalang meninggalkan Dalam Sultan tersiarlah berita bahwa bermaksud hendak menjual Aceh kepada Belanda.
Selagi diadakan pembicaraan dan perundingan itu datanglah kapal uap Zr. Ms. Djambi ke perairan Aceh yang membawa surat gubernur jenderal kepada sultan beserta hadiah-hadiah. Habib bersama dua orang uleebalang yang disebut itu diutus ke kapal Djambi. Ketika mereka menaiki dan meninggalkan kapal diberi penghormatan 13 kali tembakan meriam. Nakhoda kapal Djambi lama berbicara dengan Habib di kapal, para utusan lain tidak dapat mengikuti pembicaraan mereka dan timbul pula persangkaan yang lebih kuat dari yang sudah-sudah pada kedua mereka itu bahwa Habib benar-benar bermaksud hendak menjual Aceh. Kemudian, nakhoda kapal Djambi mengunjungi Dalam sultan dan berbicara dengan seorang lawan Habib yaitu Panglima Tibang. Kesempatan itu telah menyebabkan tersinggungnya perasaan wazir itu.
Setelah kapal Djambi meninggalkan perairan Aceh terjadilah hal yang berikut ini, putra sultan yang bernama Zainul Abidin melihat bahwa ayahnya mempunyai rencana hendak menjadikan Tuanku Mahmud sebagai penggantinya. Karenanya, ia bermaksud hendak mencegah rencana tersebut dengan jalan membunuhnya. Tembakan pistol yang dilepaskan terhadap sultan tidak mencapai sasarannya. Berkat usaha Habib, perselisihan paham yang timbul antara ayah dan anak itu dapat didamaikan. Sayangnya tidak seorang pun di antara mereka itu berumur panjang, mula-mula meninggal Zainul Abidin akibat suatu penyakit parah dan setelah itu meninggal pula Sultan Ibrahim Mansur Syah tidak lama setelah mewasiatkan bahwa penggantinya adalah Tuanku Mahmud dan selagi ia belum dewasa diserahkan perwaliannya kepada Habib.
Akan tetapi di antara para uleebalang terdapat ketidaksepakatan mengenai masalah penggantian raja di antaranya ada yang menginginkan agar Tuanku Mahmud diangkat menjadi sultan, sedangkan yang lainnya menghentikan Tuanku Hasyim putra Tuanku Abas dan cucu Sultan Mahmud Syah. Habib tidak mencampuri pertikaian itu, tetapi selama setahun ia memegang kendali perwalian Tuanku Mahmud. Dengan bantuan kuat Panglima Polem yang datang sendiri ke Dalam sultan Tuanku Mahmud diangkat menjadi Sultan Aceh dengan ketentuan bahwa Habib dalam jabatannya sebagai wazir kepala diserahi urusan pemerintahan Kerajaan Aceh atas nama dan untuk sultan.
Ketika Habib menganggap bahwa kekuasaan sultan yang baru sudah cukup mantap, maka ia mengadakan perjalanan untuk mengutip penghasilan kerajaan. Dengan memiliki surat kuasa sultan yang dibubuhi materai Habib berhasil mengumpulkan cukai sejumlah 12.000 ringgit disamping 9.000 ringgit sumbangan rakyat untuk pembangunan mesjid raya.
Dari penghasilan yang diperoleh itu Habib menggunakan kesempatan untuk menaklukan XXVI mukim karena para uleebalang di daerah itu belum juga mau mengakui kekuasaan Sultan Mahmud. Hal itu disebabkan karena terutama oleh hasutan Panglima Tibang yang menaruh dendam pribadi tehadap Habib yang beranggapan bahwa Habiblah menjadi penyebab sehingga sultan yang dahulu tidak mempercayainya lagi. Bahkan sekali ia pernah berusaha untuk meracuni Habib.
Habib memang berhasil menaklukkan mukim-mukim yang menetang sultan, tetapi ia tidak berhasil memusnahkan Panglima Tibang. Tidak lama setelah kembali dari Cadek (XXVI mukim) Habib ditugaskan lagi untuk mengadakan perjalanan ke pantai Barat Aceh dan pada waktu itu ia tidak berada di tempat, Panglima Tibang berhasil pula memperoleh kepercayaan sultan.
Ketika Habib masih berada di pantai Barat Aceh singgahlah kapal uap Zr. Ms. Maas en Waal di perairan Aceh yang membawa kiriman dari Betawi. Kali ini perundingan atas nama Sultan dilakukan oleh Panglima Tibang yang kini telah dapat menguasai Sultan Mahmud. Seperti diketahui, perundingan itu tidak membawa hasil yang diharapkan.
Ketika Habib kembali dari pantai Barat Aceh ia melihat, bahwa peperangan dengan Belanda tidak mungkin dihindarkan lagi. Habib tidak senang jika kekuasaan di Aceh dibagikan kepada Panglima Tibang. Oleh karena tidak mempunyai pengaruh lagi terhadap urusan-urusan pemerintahan, ia pun meninggalkan Aceh menuju Pulau Pinang dengan menumpang kapal uap Paty. Dari sana ia berangkat dengan kapal pos ke Mekah dan berdiam pada Syarif Abdullah Basyah selama beberapa waktu lamanya.
Dari Mekah ia mengadakan perjalanan ke Konstantinopel yang diterima baik oleh Sultan dengan memberikannya bintang jasa Osmaniah. Sekembalinya dari negeri Arab ia menerima sebuah surat bersama dari para uleebalang III Sagi yang menjelaskan, bahwa peperangan dengan Belanda sudah terjadi dan Sultan Mahmud sudah meninggal. Di samping itu kepada Habab mereka memberikan kuasa selama 7 tahun untuk mencari bantuan pada raja-raja di Eropa sehubungan dengan peperangan yang telah melibatkan Aceh.
Habib menerima kuasa itu dan sekali lagi ia mengadakan perjalanan ke Eropa ; ia mengunjungi Konstantinopel dan Paris; dari pemerintah-pemerintah tersebut ia tidak berhasil memperoleh bantuan untuk menolong Aceh. Hanya Turki saja yang menjanjikan akan memberikan bantuan moril. Kerajaan itu akan menyurati kerajaan Belanda dengan mengemukakan hal-hal yang menguntungkan bagi Kerajaan Aceh. Akan tetapi tidak lama kemudian kerajaan itu memberitahukan kepada Habib melalui Murad Effendi, bahwa masalah Aceh telah diatur dalam suatu perjanjian negara-negara Eropah sehingga Turki menganggap tidak wajar untuk mencampuri masalah peperangan itu.
Secara tidak langsung Habib telah meminta juga kesediaan Inggris untuk menjadi penengah dalam penyelesaian peperangan itu; hal itu dimungkinkan berkat perkenalannya di Singapura dulu dengan Sir Rutherfors Alcock, tadinya duta Inggris di Cina dan terkahir anggota Dewan Tinggi di Inggris.
Habib hidup mewah sekali; biaya untuk itu salah satunya diperoleh melalui Teuku Paya di Pulau Pinang. Namun usahanya di Eropa tetap tidak berhasil. Karenanya ia pergi lagi ke Singapura dan dari sana ia mengirim surat kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda yang menawarkan jasa-jasanya untuk memulihkan kembali ketentraman dan perdamaian di Aceh. Ia mengaku tidak pernah menerima jawaban atas suratnya itu.
Setelah berdiam di Singapura beberapa waktu lamanya Habib berangkat ke Pulau Pinang untuk selanjutnya menuju Aceh. Tiga bulan lamanya ia berada di Pulau Pinang dan seringkali ia makan siang bersama Letnan Gubernur Ansor. Pada kesempatan-kesempatan itu ia telah mengulangi ususlnya kepada pemerintah Hindia Belanda melalui konsul Belanda di sana. Oleh karena pemerintah Hindia Belanda tidak mau berunding dengannya, akhirnya ia mengambil keputusan untuk kembali ke Aceh guna melawan Belanda.
Konsul Belanda Lavino berusaha dengan berbgaai cara untuk menggagalkan rencana Habib dengan menyuruh seorang mata-mata membuntutinya. Akan tetapi pada suatu hari, orang Arab yang cerdik itu berhasil juga mengelabui sang mata-mata; ia menggunakan sebuah kereta kuda tidak bernomor dan menuju ke pantai; ia menggunting rumput dan janggutnya dan dalam keadaan demikian ia menjumpai seorang Aceh bernama Nyak Baron. Oleh Nyak Baron ia dibawa dengan sebuah sampan ke kapal uap kecil yang sedang berlabuh dan segera akan beangkat ke Aceh. Di kapal Habib berlakon seperti seorang Keling; ia tidak memberitahukan kepada siapapun tentang dirinya dan selama dalam perjalanan ia berlaku seperti orang yang tidak waras. Sesampainya di pelabuhan Idi, kapal itu menerima perintah dari kapal perang Belanda yang sedang berlabuh di sana yang melarang orang-orang turun ke darat sebelum melakukan pemeriksaan. Akan tetapi, Habib berhasil melompat ke sebuah sampan kecil miliki orang Aceh yang belabuh tidak ajauh dari kapal itu ia bersembunyi di dalamnya dan minta diantarkan ke Peudawa Puntong .
Nyak Baron yang tetap berada di kapal malam itu juga tiba di Peudawa. Kepada Habib ia memberikan pengawalan terdiri dari 50 orang untuk meneruskan perjalanan ke Aceh Besar. Di tempat-tempat yang dilalui Idi Cut, Tanjung Seumantok, Simpang Ulim dan sebagainya ia memperoleh penghormatan. Dari raja di sana Teungku Muda Nyak Malem ia memperoleh 5.000 ringgit dan 500 tong mesiu untuk keperluan peperangan. Kini ia memiliki pasukan sejumlah 2.000 dan dengan itu berangkatlah ia dari Simpang Ulim ke Keureutou, di sini pasukannya semakin bertambah dan berbagai uleebalang menyerahkan 5.000 ringgit, di Peusangan ia memperoleh 1.000 ringgit, di Pidie 5.000 ringgit dan di Gigieng 1.000 ringgit.
Sewaktu tiba di Pidie pasukan Habib berjumlah menjadi 10.000 orang. Di sini ia menulis surat kepada uleebalang III sagi yang memberitahukan tentang kedatangannya dan meminta khabar apakah ia dengan kekuatan yang dikerahkannya itu dibenarkan masuk Aceh ? Jika ya, bagaimana caranya. Jawaban yang diterima berbunyi bahwa kedatangan Habib sangat dinanti-nantikan. Kini Habib tiba di Indrapuri. Di sini ia mengundang semua uleebalang dalam III sagi, dari mereka secara lisan ia menerima jaminan yang sama. Bahkan mereka memilih Habib sebagai Panglima Perang. Setelah itu ia berangkat ke Mesjid Mon Tasiek, di sinipun ia mengundang uleebalang dengan mengemukakan pertanyaan yang sama dan mendapat jawaban yang serupa juga. Kemudian Habib menerangkan bahwa ia bersedia melaksanakan perintah itu jika setiap orang mempercayainya dan memberikan pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh semua uleebalang itu. Perjanjian yang diinginkan itu diserahkan kepadanya dan Habib menerima penunjukan sebagai pimpinan peperangan.
Menurut keterangan sendiri satu-satunya kesukaran yang diperolehnya adalah sangat sedikitnya ia memperoleh kerjasama dari pihak uleebalang pada waktu ia melaksanakan tugasnya, hanya sebagian kecil dari mereka itu yang mengikuti perintah Habib, bagian terbesarnya bertindak menurut keinginan sendiri-sendiri.
Pada waktu Habib menjadi panglima perang di Aceh, Kampung-Kampung Kayee Le, Bilui, dan Lambaro sudah dikuasai oleh Belanda. Empat kali Habib melakukan serangan terhadap Belanda, 3 kali di XXVI mukim dan sekali di IV mukim.
Sebelum melakukan serangan di IV mukim Habib berusaha menggerakkan beberapa orang uleebalang supaya berdamai dengan pemerintah Belanda karena ia merasakan bahwa Aceh akan kalah dalam peperangan, bukan saja karena keadaan persenjataan orang-orang Aceh yang tidak seimbang dengan pihak Belanda, tetapi dan terutama karena di antara mereka terdapat perpecahan antara satu dengan yang lain. Panglima Polem pun menarik diri seluruhnya dari peperangan bahkan ia menolak untuk menyerahkan biaya-biaya yang telah disumbangkan oleh rakyat ke kas perang. Hanya 500 ringgit yang diserahkannya kepada Habib.
Bagian rakyat terbanyak tetap menginginkan diteruskannya peperangan, sehingga diputuskanlah untuk berjuang sampai tetesan darah yang terakhir dengan jalan menyerang IV mukim dan dengan demikian kedudukan Ulee Lheue dan Kutaraja menjadi terancam. Namun rakyat yang dikerahkan untuk bertempur tidak memadai juga.
Hasilnya adalah seperti yang telah diduga Habib karena terus-menerus digempur oleh Jenderal van der Heijden dari berbagai tempat, maka banyaklah rakyat yang melarikan diri ke Mesjid Mon Tasiek. Sekali lagi Habin menyarankan supaya para uleebalang berdamai saja pada Belanda, namun mereka tetap menolaknya. Setelah itu Seuneulob diserang Belanda dan seluruh kekuatan Aceh terpusat di Mesjid Mon Tasiek. Habib sendiri menganggap bahwa kubu pertahanan itu cukup kuat, tetapi dugaan itu tidak juga benar. Akhirnya kubu inipun jatuh ke tangan Belanda.
Sekali lagi Habib mengadakan musyawarah dengan para uleebalang dan berterus terang ia menerangkan bahwa mereka sudah kalah perang dan lebih baik sekiranya mereka berdamai saja pada pemerintah Belanda, sehingga Habib terlepas dari tanggung jawab yang diberikan kepadanya dan juga karena ia bermaksud hendak memisahkan diri dari mereka dan akan menyerahkan jasa-jasanya kepada gubernur jenderal. Dari 12 uleebalang yang menghadiri pertemuan itu tercatat 7 orang yang ingin berdamai, sementara 5 orang lagi menginginkan supaya peperangan dilanjutkan.
Pada waktu itu Habib menerima surat gubernur Aceh dan takluknya yang ditujukan kepada Teuku Muda Baet sebagai balasan atas surat uleebalang tersebut. Oleh karena pada waktu itu Teuku Muda Baet tidak berada di tempat, maka surat itu dijawab oleh Habib yang melihat suatu kesempatan baik untuk mengadakan hubungan dengan gubernur. Surat menyurat yang terjadi antara Habib dengan gubernur telah menjurus kepada penaklukan Habib. Setelah syarat-syarat yang diajukan Habib diterima di Kutaraja, maka pada tanggal 13 Oktober 1878 Habib pun berdamai pada pemerintah Belanda.
Selagi Habib mengadakan perundingan dengan pihak Belanda ia terus juga memerintahkan pembuatan kubu-kubu pertahanan yang dilakukan siang dan malam. Di satu sudut tindakannya itu dimaksudkan kalau-kalau perundingan dengan pihak Belanda akan gagal sedang persiapan untuk terus bertempur sudah rampung, di sudut lain untuk tidak menimbulkan kecurigaan pada rakyat sebab pernyataan Habib untuk menyerah kepada Belanda diucapkannya sedemikian rupa umumnya, sehingga tidak seorang pun mau mempercayainya. Banyak orang menganggap bahwa pernyataan itu semata-mata untuk menakut-nakuti rakyat.
Pada tanggal tersebut di atas Habib dinantikan oleh Kepala Staf Mayor Gey van Pittus bersama Asisten Residen Sol. Perjalanan ke Aneuk Galong dilakukan pada malam hari. Syarat-syarat penyerahan diri bukan tidak menguntungkan bagi Habib, ia berjanji akan menganggap dirinya seperti dan berlaku sebagai rakyat yang tunduk kepada kekuasaan Belanda dan tidak akan melakukan sesuatu yang merugikan pemerintah dan milik-milik Belanda di seberang lautan atau milik rakyat Belanda”. Sebaliknya, pemerintah Belanda menyatakan berkewajiban selama ia masih hidup untuk memberikan uang bulanan kepadanya sejumlah 1.000 ringgit (f 2.500) dan akan mengangkutnya bersama istri-istri serta pengikutnya dengan kapal ke negeri Arab.
Baik di dalam bivak maupun di kapal uap Zr. Ms. Curacao yang membawanya ke negeri Arab, Habib diterima dan diperlakukan dengan cara yang sebaik-baiknya. Tanggal 24 November 1878 Kapal Curacao meninggalkan pelabuhan Ulee Lheue. Pada waktu keberangkatan Habib telah diberikan penghormatan 11 kali tembakan meriam seperti ditentukan oleh gubernur “sebagai bukti nyata bahwa Habib – seperti tersiar di luaran – tidak dilarikan oleh pihak Belanda”. Tanggal 5 Desember 1878 Habib meninggalkan Kolombo, atas permintaannya, kapal Curacao berlabuh lebih lama di sana berhubung dengan tibanya hari raya Islam yang ingin dirayakan oleh Habib. Anehnya, masyarakat Islam di Kolombo, di antaranya bahkan seorang Keling yang menjadi Konsul Turki telah memberi penghormatan yang cukup khidmat kepada Habib. Semua orang yang menjumpainya mencium tangan dan lututnya. Tanggal 28 Januari 1879 tibalah Habib ke Mekah yang dijemput oleh Syarif bersama pejabat-pejabat tinggi lainnya.
Selama dalam perjalanan Habib telah memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang berpendidikan dan cerdas. Dalam pembicaraan dengannya ia memberikan berbagai keterangan mengenai kekuatan Aceh yang merupakan catatan penting bagi pihak Belanda.
Pada akhir uraian ini saya ingin mengutip beberapa baris tentang Habib yang ditulis dalam surat nakhoda Kapal Curacao kepada pemerintah Hindia Belanda di Betawi selama dalam perjalanan itu.
“Habib bersama para pengikutnya akan turun di Jeddah. Ia bermaksud akan berangkat ke Mekah dan berdiam di sana sampai tahun depan. Mengenai maksud selanjunya, sepanjang pengetahuan saya, ia belum menetapkannya. Ia seorang yang gila hormat, sombong, licik, tetapi suka bekerja, banyak membaca dan berhasil serta pandai memperhitungkan keadaan. Ia memiliki pengetahuan yang luas sekali dan saya dapat membayangkan bahwa seseorang yang berwatak demikian, tidak akan menginginkan sesuatu pekerjaan lain untuk memenuhi nafsu hormatnya itu. Beberapa kali ia mengemukakan kepada saya bahwa yang mulia gubernur jenderal tahun depan akan mengundangnya ke Betawi. Ia ingin sekali hendak membuktikan bahw kini hatinya seluruhnya telah terpaut kepada pemerintah Belanda dan menganggap dirinya seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda”
Menurut hemat saya anggapan itu boleh dipercaya saya menganggap amat mustahil bahwa ia akan membohonginya. Saya pun tidak percaya bahwa dengan mudah ia akan mengingkari kata-kata yang telah diucapkannya.