Senin, 16 Februari 2009

HABIB ABDURRAHMAN AL ZAHIR

Oleh: Alexander


Berkat kebaikan Kapten Laut van der Hegge Spies yang
telah membantu saya memperlihatkan berbagai surat penting, saya memperoleh kesempatan untuk lebih mengenal dari dekat salah seorang penting pada masa peperangan di Aceh, yaitu seorang Arab bernama Habib Abdurrahman Al Zahir yang sekian lama merupakan jiwa perlawanan terhadap pemerintah Belanda dan kini berdiam di negeri Arab.
Seperti diketahui Habib dibawa ke sana pada permulaan tahun lalu dengan menumpang kapal uap Zr. Ms. Curacao yang dinakhodai perwira di atas dan untuk kebaikannya itu pada tempat ini secara terbuka saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Sejauh pengetahuan saya keterangan-keterangan penting berikut ini saya catat dari mulutnya sendiri – jadi otentik sekali – belum lagi diketahui orang ramai. Berdasarkan hal itu pula saya menganggap ada baiknya untuk menulis sejarah hidup tokoh tersebut bagi pembaca De Indische Gids yang saya catat menurut keterangan Habib sendiri.
Habib Abdurrahman dilahirkan di Hadramaut (negeri Arab) tahun 1832 (1249). Tahun 1834 ia dibawa oleh ayahnya, bernama Mohamad Al Zahir, ke Malabar. Ibunya telah meninggal tidak lama setelah Habib dilahirkan. Di Malabar ia memperoleh ibu tirinya karena ayahnya kawin lagi.
Pada usia 5 tahun (1837) ia dibawa oleh ayahnya ke Mesir untuk memperoleh pendidikan membaca dan menulis terutama dalam hal mentafsirkan Al Qur’an. Tahun 1842 ia kembali ke Malabar dari sana ia berangkat ke Kalikut untuk menyelesaikan pendidikannya. Tahun 1848 ayahnya menugaskan untuk melakukan perjalanan sepanjang pantai India ke Sailan dan negeri Arab guna menambah kecerdasannya. Setelah itu, Habib berdiam di Mokka. Di sana ia kawain dengan putri seorang raja yang telah meninggal sebagai ucapan terima kasih raja itu kepada Habib. Setelah meninggal ayah istrinya, semua harta kekayaannya digerogoti sanak saudaranya yang tamak, tetapi berkat daya upaya Habib, walaupun ia tidak mengenalnya secara pribadi semua itu kembali menjadi milik istrinya. Ketika Habib berada di Aceh ia menerima berita tentang kematiannya.
Ia berdiam di Mokka selama setahun setengah. Setelah itu ia pergi ke Mekah. Dari sana ke Konstantinopel untuk selanjutnya ke Malabar dan disana ia kawin lagi. Di sini ia berdiam hanya beberapa bulan saja, segera ia berangkat ke Kalikut dan di sana ia kawin lagi serta memperoleh seorang putri yang ia namakan Syarifah Fatimah.
Beberapa tahun kemudian, Habib pindah ke Hydrabad. Raja di tempat itu sangat senang kepadanya. Habib membuat sejenis obat minum bagi untuk memperoleh putra yang sampai sekarang tidak dipunyainya. Usahanya itu makbul kemudian ia berhasil membujuk pelindungnya supaya meninggalkan agama Hindu dan menganut agama Islam. Sebagai ucapan terima kasihnya raja itu mengangkat Habib menjadi Jamidar, yaitu panglima yang mengepalai 1.000 orang prajurit. Hanya sebelas bulan ia menjabat pekerjaan itu. Ia minta berhenti dan dikabulkan lalu berangkat ke Kalkuta. Di sana ia bertugas sebagai pembuat perhiasan-perhiasan emas atau lebih tepat sebagai tukang emas karena selain membuat perhiasan-perhiasan emas ia ahli juga dalam menyepuh barang-barang bukan emas. Bahkan ia dapat memurnikan biji-biji emas yang dijual di pasar. Betapa pun kurang penting arti pekerjaannya itu, tetapi ia memperoleh untung yang cukup besar. Menurut keterangannya sehari ia memperoleh penghasilan lebih kurang 100 ringgit dan dapat dimengerti jika dengan ia sanggup menyewa sebuah vila dengan sewa 600 ringgit sebulan.
Selama bertahun-tahun di Kalkuta ia banyak menabung uang. Semangat petualangan membakar jiwanya kembali kemudian ia berangkat ke Eropa untuk memenuhi maksudnya yang sudah sekian lama direncanakannya. Ia mengunjungi Italia, Jerman, dan Perancis, kemudian kembali ke Hindia Inggris melalui Kontantinopel. Di ibukota Kerajaan Turki Habib diterima dengan berbagai penghormatan karena selain ketinggian ilmunya juga disebabkan keturunannya yang secara umum diakui langsung berasal dari Nabi Muhammad dan mempunyai nama harum di dunia Islam.
Gagasan Habib terhadap Islam tampak aneh. Seperi halnya banyak orang Islam yang telah berpendidikan Habib menganggap bahwa agama Islam adalah agama yang paling baik, tetapi bukan satu-satunya agama yang diturunkan Tuhan dan karenanya ia sangat menghormati kebaikan-kebaikan yang terdapat agama-agama lain. Terutama ia sangat menentang sikap tidak dapat menahan diri yang dimiliki banyak penganut agama Islam. Ia minum anggur dan tidak sering mengerjakan sembahyang seperti yang tampak ke luar.
Jika ditanyakan kepadanya mengapa ia tidak patuh menjalankan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Al Qur’an ia menjawab bahwa ketentuan-ketentuan itu hanya berlaku sejauh yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad, sedang Nabi tidak pernah melarang orang minum anggur hanya penyalahgunaan yang dilarang oleh Nabi bahwa para pengikut Nabi menyamakan ketentuan minum anggur serupa dengan penyalahgunaannya. Hal ini tidak berlaku bagi Habib. Namun hal demikian tidak mengurangi penghormatan orang-orang Islam terhadap Habib. Hal ini terbukti dari sering kalinya mereka mencium ujung-ujung pakaiannya.
Sekembalinya dari Eropa berturut-turut ia mengunjungi Bombay selama 3 bulan, Hydrabad 7 bulan, Kalikut 3 bulan dan Singapura 11 bulan. Di tempat terakhir ia berkenalan dengan Maharaja Johor. Di sana ia bekerja dengan penghasilan 2.000 ringgit setahun. Berkat usaha Habib, di Johor banyak dilakukan pembangunan dan pembuatan jalan-jalan yang baik, sementara urusan pemerintahan dalam negeri menjadi lebih baik. Satu setengah tahun kemudian ia minta berhenti dari pekerjaannya. Habib memperoleh surat penghargaan dari Maharaja atas jasa-jasa pentingnya terhadap negeri.
Dari Johor Habib bertolah ke Pulau Pinang di sini ia berdiam selama sebulan lamanya. Setelah itu ia berangkat ke Pidie dengan sebuah sekunar dan selanjutnya ke Aceh dengan sebuah perahu sampan. Ia berada di Kampung Jawa selama 3 hari kemudian ia menjumpai Habib Muhammad Mahaldi di kampung Lam Seupeueng ini terjadi di bulan Jumadil Awal tahun 1221 H (1864). Tokoh tersebut telah memperkenalkan Habib kepada sultan yang menerimanya dengan baik setelah melihat surat penghargaan diberikan oleh Maharaja Johor serta mengangkatnya sebagai kepada Mesjid Raya.
Pada waktu itu di Aceh banyak terjadi perpecahan di dalam negeri dan pertikaian di antara sesama kepala rakyat sedang kekuasaan sultan tidak berarti sama sekali. Berkat pengaruh Habib yang dalam pada waktu itu telah kawin lagi, kekuasaan sultan tambah meluas dan terjadi perbaikan-perbaikan di dalam negeri.
Pada waktu itu sultan mempunyai rencana bahwa jika ia meninggal kelak ia akan menyerahkan takhta Kerajaan Aceh kepada penggantinya yang berhak yaitu putra Sultan Sulaiman Iskandar bernama Tuanku Mahmud. Karenanya ia bermaksud agar pangeran tersebut yang selama ini berada dalam kekuasaan Teuku Muda Baet di Kampung Lam Teungoh dibawa ke Dalam Sultan. Habib ditugaskan untuk melaksanakan rencana itu. Untuk itu, ia memperoleh kuasa penuh serta 2.000 orang prajurit dan langsung menuju ke III mukim Cot Putu. Di sana ia mengerahkan lebih banyak lagi rakyat beserta kepalanya dan dengan kekuatan sebanyaknya 20.000 orang ia menuju ke Kampung Lam Teungoh. Setiba dekat kampung itu, Habib menghentikan pasukannya dan mengirimkan seorang utusan bernama Syeikh Abdu’r Rahman ke rumah Teuku Muda Baet untuk mengusahakan supaya Tuanku Mahmud dapat diserahkan secara damai kepada sultan. Oleh karena Teuku Muda Baet tidak berada di rumahnya, maka usaha Syeikh Abdur Rahman tidak begitu sukar untuk mengajak Tuanku Mahmud ikut bersamanya. Sesampai di Pagaraye’ melalui Cot Putu Habib menyampaikan keberhasilan usahanya. Sultan mengutus beberapa orang uleebalang untuk menjemput Tuanku Mahmud dan sejak itu tuanku berada bersamanya di Dalam.
Teuku Muda Baet sangat marah atas hilangnya Tuanku Mahmud. Ia berhasil membujuk para kepala rakyat lain untuk menentang kekuasaan sultan. Ketika berita itu sampai ke Habib sekali lagi ia minta kuasa kepada sultan dan dengan rakyat yang semaakin bertambah Habib melintasi daerah III sagi yang sedang menentang sultan. Berkat kekuatan serta kepasihannya berkata-kata Habib berhasil membujuk para pengikut Teuku Muda Baet. Kemudian ia menghadapi Teuku Nanta, satu-satunya kepala rakyat yang masih mau mengakui kekuasaan sultan. Akhirnya –melihat kepada kekuatan Habib – Teuku Nanta pun takluk dan dalam tempo 8 hari Habib berhasil menaklukkan semua uleebalang di daerah itu. Atas jasa-jasanya itu sultan mengangkatnya sebagai kepala urusan agama dan memberi kepercayaan kepadanya untuk memerintah di Cot Putu dalam III mukim.
Habib sadar bahwa sebagai orang asing banyak orang yang cemburu terhadapnya. Agar dapat tetap dalam jabatannya itu ia berusaha kawin dengan salah satu putri uleebalang yang sangat terkemuka. Setelah terjadi hal yang disebut di atas dan selagi Teuku Muda Baet berada di Kutaraja sebagai tawanan Habib berhasil membujuknya dengan membayar 400 ringgit supaya dapat kawin dengan kakaknya. Akibat perkawinan itu Habib menjadi lebih terpandang di kalangan rakyat, bukan saja karena Pocut adalah kakak salah satu seorang uleebalang terkemuka, tetapi juga karena ia janda Sultan Sulaiman Iskandar.
Akan tetapi, tidak lama setelah Teuku Muda Baet kembali ke daerahnya timbul perasaan keberatan pada dirinya untuk menyerahkan kakaknya itu. Mula-mula ia berjanji akan menyerahkannya setelah masa tiga bulan kemudian ia menerangkan bahwa hanya dengan kekuatan senjata saja Habib dapat memperoleh kakaknya. Habib berusaha ke arah itu. Dengan sebuah pasukan yang kuat Habib berangkat ke Cot Bada dan mendesak Teuku Muda Baet supaya menyerahkan kakaknya. Akhirnya, Pocut dapat juga dibawa oleh Habib ke Cot Putu. Dalam pada itu tampaknya telah terjadi perdamaian antara Teuku Muda Baet dengan Habib dan sejak itu –demikian keterangan Habib- terbinalah suatu persahabatan yang sangat akrab di antara kedua mereka.
Sultan merasa sangat kagum terhadap hasil peperangan yang diperoleh Habib dalam waktu yang sangat pendek itu. Lawan-lawan Habib (yang terpenting di antaranya adalah Teuku Kali Malikul Adil) berusaha memftnah Habib kepada sultan. Menurut mereka, maksud Habib tidak lain hanyalah untuk mempertahankan suatu kekuatan bersenjata yang besar, yang pada suatu waktu akan dipergunakannya untuk melawan sultan. Namun sultan tetap mempercayai Mangkubuminya, demikian gelar yang diberikan kepada Habib. Nama Habib semakin menanjak. Ia memperoleh kepercayaan sultan. Sultan telah membenarkan antara lain agar Habib membangun mesjid raya dan memberi kuasa kepadanya untuk menerima perkayuan dari para uleebalang yang diperlukan untuk pembangunan itu. Ketika seluruh perkayuan terkumpul di Peunayong Habib mengadakan kenduri yang dihadiri banyak penduduk Aceh Besar, termasuk para uleebalang dan rakyat biasa. Seusai kenduri dimulailah pembangunan mesjid. Sultan sendiri menyerahkan sumbangan sejumlah 3.000 ringgit dan dalam perjalanan ke Pantai Barat Habib berhasil mengumpulkan sumbangan sejumlah 3.300 ringgit pula.
Akan tetapi, pada waktu Habib tidak berada di tempat, lawan-lawannya telah mengadakan usaha baru untuk memfitnahnya pada sultan. Mereka menerangkan bahwa maksud Habib yang sesungguhnya ke Pantai Barat Aceh adalah untuk membeli senjata beserta pelurunya yang kelak akan dipergunakannya untuk maksud-maksud buruk. Mula-mula sultan menutup telinganya terhadap fitnah itu. Tetapi sewaktu lawan-lawan Habib semakin bertambah juga dan fitnah semakin banyak, maka mulailah sultan menyangsikan iktikad baik orang asing itu. Sepulangnya Habib dari perjalanan itu segera ia melihat tanda-tanda kesangsian sultan terhadap dirinya. Segera ia meminta berhenti dan bertolak ke Mekah melalui Pulau Pinang.
Di tempat ini ia memperoleh surat-surat kepercayaan yang diberikan oleh Syarif Agung, Abdullah Basyah, Syarif Jiddah Moamar Basyah dan bekas gurunya Tadlak dan dengan itu segera ia kembali langsung ke Aceh. Setibanya di pelabuhan ia mengirimkan surat kepada sultan yang menerangkan bahwa ia sudah kembali ke Aceh dengan maksud hendak menjemput istrinya untuk dibawanya ke Mekah. Tak lama kemudian datang dua orang utusan sultan ke kapal Habib menjelaskan kepada mereka hal yang serupa. Kepada mereka ia menyerahkan surat-surat kepercayaan dengan permintaan supaya mereka memperlihatkannya kepada sultan.
Setelah memaklumi isi surat-surat kepercayaan itu sultan mengundang bekas Mangkubuminya ke Dalam yang dipenuhi oleh Habib. Sultan sendiri menunggu di pantai dan menemaninya sampai ke dalam, takut kalau-kalau di tengah jalan Habib akan dibunuh oleh lawan-lawannya. Lagi-lagi Habib dijadikan kepala urusan agama dan kepala mesjid raya serta diangkat sebagai uleebalang Cot Putu. Tidak lama antaranya sultan mengangkat wazir. Demikianlah Habib berhasil menciptakan ketenangan dan ketentraman dalam pemerintahan Aceh. Penghasilan sultan semakin bertambah dan dibayar pada waktunya. Para uleebalang menjadi semakin marah kepada Habib. Namun kedengkian mereka tidak dapat membayangkan Habib karena sultan tidak mau lagi berbicara dengan mereka dan menyuruh mereka supaya berhubungan dengan wazirnya.
Habiblah yang menyarankan sultan supaya memberi keizinan kepada orang-orang Belanda untuk datang berniaga ke Aceh, ia menyadari, bahwa semua itu akan memberi keuntungan bagi kerajaan. Sultan sendiri tidak berani mengambil keputusan. Untuk itu, ia perlu mendengar pendapat dewan yang terdiri dari beberapa orang terkemuka yaitu Teuku Kali, Teuku Imeum Leung Bata, dan Teuku Nek Meuraksa. Masalah tersebut dibicarakan dengan dihadiri oleh Habib. Semua mereka itu sangat menyetujui pendapat wazir dan karenanya diputuskanlah untuk mengirimkan Habib bersama Teuku Kali dengan kapal Paty sebagai utusan sultan untuk menemui gubernur jenderal di Betawi. Begitu para uleebalang meninggalkan Dalam Sultan tersiarlah berita bahwa bermaksud hendak menjual Aceh kepada Belanda.
Selagi diadakan pembicaraan dan perundingan itu datanglah kapal uap Zr. Ms. Djambi ke perairan Aceh yang membawa surat gubernur jenderal kepada sultan beserta hadiah-hadiah. Habib bersama dua orang uleebalang yang disebut itu diutus ke kapal Djambi. Ketika mereka menaiki dan meninggalkan kapal diberi penghormatan 13 kali tembakan meriam. Nakhoda kapal Djambi lama berbicara dengan Habib di kapal, para utusan lain tidak dapat mengikuti pembicaraan mereka dan timbul pula persangkaan yang lebih kuat dari yang sudah-sudah pada kedua mereka itu bahwa Habib benar-benar bermaksud hendak menjual Aceh. Kemudian, nakhoda kapal Djambi mengunjungi Dalam sultan dan berbicara dengan seorang lawan Habib yaitu Panglima Tibang. Kesempatan itu telah menyebabkan tersinggungnya perasaan wazir itu.
Setelah kapal Djambi meninggalkan perairan Aceh terjadilah hal yang berikut ini, putra sultan yang bernama Zainul Abidin melihat bahwa ayahnya mempunyai rencana hendak menjadikan Tuanku Mahmud sebagai penggantinya. Karenanya, ia bermaksud hendak mencegah rencana tersebut dengan jalan membunuhnya. Tembakan pistol yang dilepaskan terhadap sultan tidak mencapai sasarannya. Berkat usaha Habib, perselisihan paham yang timbul antara ayah dan anak itu dapat didamaikan. Sayangnya tidak seorang pun di antara mereka itu berumur panjang, mula-mula meninggal Zainul Abidin akibat suatu penyakit parah dan setelah itu meninggal pula Sultan Ibrahim Mansur Syah tidak lama setelah mewasiatkan bahwa penggantinya adalah Tuanku Mahmud dan selagi ia belum dewasa diserahkan perwaliannya kepada Habib.
Akan tetapi di antara para uleebalang terdapat ketidaksepakatan mengenai masalah penggantian raja di antaranya ada yang menginginkan agar Tuanku Mahmud diangkat menjadi sultan, sedangkan yang lainnya menghentikan Tuanku Hasyim putra Tuanku Abas dan cucu Sultan Mahmud Syah. Habib tidak mencampuri pertikaian itu, tetapi selama setahun ia memegang kendali perwalian Tuanku Mahmud. Dengan bantuan kuat Panglima Polem yang datang sendiri ke Dalam sultan Tuanku Mahmud diangkat menjadi Sultan Aceh dengan ketentuan bahwa Habib dalam jabatannya sebagai wazir kepala diserahi urusan pemerintahan Kerajaan Aceh atas nama dan untuk sultan.
Ketika Habib menganggap bahwa kekuasaan sultan yang baru sudah cukup mantap, maka ia mengadakan perjalanan untuk mengutip penghasilan kerajaan. Dengan memiliki surat kuasa sultan yang dibubuhi materai Habib berhasil mengumpulkan cukai sejumlah 12.000 ringgit disamping 9.000 ringgit sumbangan rakyat untuk pembangunan mesjid raya.
Dari penghasilan yang diperoleh itu Habib menggunakan kesempatan untuk menaklukan XXVI mukim karena para uleebalang di daerah itu belum juga mau mengakui kekuasaan Sultan Mahmud. Hal itu disebabkan karena terutama oleh hasutan Panglima Tibang yang menaruh dendam pribadi tehadap Habib yang beranggapan bahwa Habiblah menjadi penyebab sehingga sultan yang dahulu tidak mempercayainya lagi. Bahkan sekali ia pernah berusaha untuk meracuni Habib.
Habib memang berhasil menaklukkan mukim-mukim yang menetang sultan, tetapi ia tidak berhasil memusnahkan Panglima Tibang. Tidak lama setelah kembali dari Cadek (XXVI mukim) Habib ditugaskan lagi untuk mengadakan perjalanan ke pantai Barat Aceh dan pada waktu itu ia tidak berada di tempat, Panglima Tibang berhasil pula memperoleh kepercayaan sultan.
Ketika Habib masih berada di pantai Barat Aceh singgahlah kapal uap Zr. Ms. Maas en Waal di perairan Aceh yang membawa kiriman dari Betawi. Kali ini perundingan atas nama Sultan dilakukan oleh Panglima Tibang yang kini telah dapat menguasai Sultan Mahmud. Seperti diketahui, perundingan itu tidak membawa hasil yang diharapkan.
Ketika Habib kembali dari pantai Barat Aceh ia melihat, bahwa peperangan dengan Belanda tidak mungkin dihindarkan lagi. Habib tidak senang jika kekuasaan di Aceh dibagikan kepada Panglima Tibang. Oleh karena tidak mempunyai pengaruh lagi terhadap urusan-urusan pemerintahan, ia pun meninggalkan Aceh menuju Pulau Pinang dengan menumpang kapal uap Paty. Dari sana ia berangkat dengan kapal pos ke Mekah dan berdiam pada Syarif Abdullah Basyah selama beberapa waktu lamanya.
Dari Mekah ia mengadakan perjalanan ke Konstantinopel yang diterima baik oleh Sultan dengan memberikannya bintang jasa Osmaniah. Sekembalinya dari negeri Arab ia menerima sebuah surat bersama dari para uleebalang III Sagi yang menjelaskan, bahwa peperangan dengan Belanda sudah terjadi dan Sultan Mahmud sudah meninggal. Di samping itu kepada Habab mereka memberikan kuasa selama 7 tahun untuk mencari bantuan pada raja-raja di Eropa sehubungan dengan peperangan yang telah melibatkan Aceh.
Habib menerima kuasa itu dan sekali lagi ia mengadakan perjalanan ke Eropa ; ia mengunjungi Konstantinopel dan Paris; dari pemerintah-pemerintah tersebut ia tidak berhasil memperoleh bantuan untuk menolong Aceh. Hanya Turki saja yang menjanjikan akan memberikan bantuan moril. Kerajaan itu akan menyurati kerajaan Belanda dengan mengemukakan hal-hal yang menguntungkan bagi Kerajaan Aceh. Akan tetapi tidak lama kemudian kerajaan itu memberitahukan kepada Habib melalui Murad Effendi, bahwa masalah Aceh telah diatur dalam suatu perjanjian negara-negara Eropah sehingga Turki menganggap tidak wajar untuk mencampuri masalah peperangan itu.
Secara tidak langsung Habib telah meminta juga kesediaan Inggris untuk menjadi penengah dalam penyelesaian peperangan itu; hal itu dimungkinkan berkat perkenalannya di Singapura dulu dengan Sir Rutherfors Alcock, tadinya duta Inggris di Cina dan terkahir anggota Dewan Tinggi di Inggris.
Habib hidup mewah sekali; biaya untuk itu salah satunya diperoleh melalui Teuku Paya di Pulau Pinang. Namun usahanya di Eropa tetap tidak berhasil. Karenanya ia pergi lagi ke Singapura dan dari sana ia mengirim surat kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda yang menawarkan jasa-jasanya untuk memulihkan kembali ketentraman dan perdamaian di Aceh. Ia mengaku tidak pernah menerima jawaban atas suratnya itu.
Setelah berdiam di Singapura beberapa waktu lamanya Habib berangkat ke Pulau Pinang untuk selanjutnya menuju Aceh. Tiga bulan lamanya ia berada di Pulau Pinang dan seringkali ia makan siang bersama Letnan Gubernur Ansor. Pada kesempatan-kesempatan itu ia telah mengulangi ususlnya kepada pemerintah Hindia Belanda melalui konsul Belanda di sana. Oleh karena pemerintah Hindia Belanda tidak mau berunding dengannya, akhirnya ia mengambil keputusan untuk kembali ke Aceh guna melawan Belanda.
Konsul Belanda Lavino berusaha dengan berbgaai cara untuk menggagalkan rencana Habib dengan menyuruh seorang mata-mata membuntutinya. Akan tetapi pada suatu hari, orang Arab yang cerdik itu berhasil juga mengelabui sang mata-mata; ia menggunakan sebuah kereta kuda tidak bernomor dan menuju ke pantai; ia menggunting rumput dan janggutnya dan dalam keadaan demikian ia menjumpai seorang Aceh bernama Nyak Baron. Oleh Nyak Baron ia dibawa dengan sebuah sampan ke kapal uap kecil yang sedang berlabuh dan segera akan beangkat ke Aceh. Di kapal Habib berlakon seperti seorang Keling; ia tidak memberitahukan kepada siapapun tentang dirinya dan selama dalam perjalanan ia berlaku seperti orang yang tidak waras. Sesampainya di pelabuhan Idi, kapal itu menerima perintah dari kapal perang Belanda yang sedang berlabuh di sana yang melarang orang-orang turun ke darat sebelum melakukan pemeriksaan. Akan tetapi, Habib berhasil melompat ke sebuah sampan kecil miliki orang Aceh yang belabuh tidak ajauh dari kapal itu ia bersembunyi di dalamnya dan minta diantarkan ke Peudawa Puntong .
Nyak Baron yang tetap berada di kapal malam itu juga tiba di Peudawa. Kepada Habib ia memberikan pengawalan terdiri dari 50 orang untuk meneruskan perjalanan ke Aceh Besar. Di tempat-tempat yang dilalui Idi Cut, Tanjung Seumantok, Simpang Ulim dan sebagainya ia memperoleh penghormatan. Dari raja di sana Teungku Muda Nyak Malem ia memperoleh 5.000 ringgit dan 500 tong mesiu untuk keperluan peperangan. Kini ia memiliki pasukan sejumlah 2.000 dan dengan itu berangkatlah ia dari Simpang Ulim ke Keureutou, di sini pasukannya semakin bertambah dan berbagai uleebalang menyerahkan 5.000 ringgit, di Peusangan ia memperoleh 1.000 ringgit, di Pidie 5.000 ringgit dan di Gigieng 1.000 ringgit.
Sewaktu tiba di Pidie pasukan Habib berjumlah menjadi 10.000 orang. Di sini ia menulis surat kepada uleebalang III sagi yang memberitahukan tentang kedatangannya dan meminta khabar apakah ia dengan kekuatan yang dikerahkannya itu dibenarkan masuk Aceh ? Jika ya, bagaimana caranya. Jawaban yang diterima berbunyi bahwa kedatangan Habib sangat dinanti-nantikan. Kini Habib tiba di Indrapuri. Di sini ia mengundang semua uleebalang dalam III sagi, dari mereka secara lisan ia menerima jaminan yang sama. Bahkan mereka memilih Habib sebagai Panglima Perang. Setelah itu ia berangkat ke Mesjid Mon Tasiek, di sinipun ia mengundang uleebalang dengan mengemukakan pertanyaan yang sama dan mendapat jawaban yang serupa juga. Kemudian Habib menerangkan bahwa ia bersedia melaksanakan perintah itu jika setiap orang mempercayainya dan memberikan pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh semua uleebalang itu. Perjanjian yang diinginkan itu diserahkan kepadanya dan Habib menerima penunjukan sebagai pimpinan peperangan.
Menurut keterangan sendiri satu-satunya kesukaran yang diperolehnya adalah sangat sedikitnya ia memperoleh kerjasama dari pihak uleebalang pada waktu ia melaksanakan tugasnya, hanya sebagian kecil dari mereka itu yang mengikuti perintah Habib, bagian terbesarnya bertindak menurut keinginan sendiri-sendiri.
Pada waktu Habib menjadi panglima perang di Aceh, Kampung-Kampung Kayee Le, Bilui, dan Lambaro sudah dikuasai oleh Belanda. Empat kali Habib melakukan serangan terhadap Belanda, 3 kali di XXVI mukim dan sekali di IV mukim.
Sebelum melakukan serangan di IV mukim Habib berusaha menggerakkan beberapa orang uleebalang supaya berdamai dengan pemerintah Belanda karena ia merasakan bahwa Aceh akan kalah dalam peperangan, bukan saja karena keadaan persenjataan orang-orang Aceh yang tidak seimbang dengan pihak Belanda, tetapi dan terutama karena di antara mereka terdapat perpecahan antara satu dengan yang lain. Panglima Polem pun menarik diri seluruhnya dari peperangan bahkan ia menolak untuk menyerahkan biaya-biaya yang telah disumbangkan oleh rakyat ke kas perang. Hanya 500 ringgit yang diserahkannya kepada Habib.
Bagian rakyat terbanyak tetap menginginkan diteruskannya peperangan, sehingga diputuskanlah untuk berjuang sampai tetesan darah yang terakhir dengan jalan menyerang IV mukim dan dengan demikian kedudukan Ulee Lheue dan Kutaraja menjadi terancam. Namun rakyat yang dikerahkan untuk bertempur tidak memadai juga.
Hasilnya adalah seperti yang telah diduga Habib karena terus-menerus digempur oleh Jenderal van der Heijden dari berbagai tempat, maka banyaklah rakyat yang melarikan diri ke Mesjid Mon Tasiek. Sekali lagi Habin menyarankan supaya para uleebalang berdamai saja pada Belanda, namun mereka tetap menolaknya. Setelah itu Seuneulob diserang Belanda dan seluruh kekuatan Aceh terpusat di Mesjid Mon Tasiek. Habib sendiri menganggap bahwa kubu pertahanan itu cukup kuat, tetapi dugaan itu tidak juga benar. Akhirnya kubu inipun jatuh ke tangan Belanda.
Sekali lagi Habib mengadakan musyawarah dengan para uleebalang dan berterus terang ia menerangkan bahwa mereka sudah kalah perang dan lebih baik sekiranya mereka berdamai saja pada pemerintah Belanda, sehingga Habib terlepas dari tanggung jawab yang diberikan kepadanya dan juga karena ia bermaksud hendak memisahkan diri dari mereka dan akan menyerahkan jasa-jasanya kepada gubernur jenderal. Dari 12 uleebalang yang menghadiri pertemuan itu tercatat 7 orang yang ingin berdamai, sementara 5 orang lagi menginginkan supaya peperangan dilanjutkan.
Pada waktu itu Habib menerima surat gubernur Aceh dan takluknya yang ditujukan kepada Teuku Muda Baet sebagai balasan atas surat uleebalang tersebut. Oleh karena pada waktu itu Teuku Muda Baet tidak berada di tempat, maka surat itu dijawab oleh Habib yang melihat suatu kesempatan baik untuk mengadakan hubungan dengan gubernur. Surat menyurat yang terjadi antara Habib dengan gubernur telah menjurus kepada penaklukan Habib. Setelah syarat-syarat yang diajukan Habib diterima di Kutaraja, maka pada tanggal 13 Oktober 1878 Habib pun berdamai pada pemerintah Belanda.
Selagi Habib mengadakan perundingan dengan pihak Belanda ia terus juga memerintahkan pembuatan kubu-kubu pertahanan yang dilakukan siang dan malam. Di satu sudut tindakannya itu dimaksudkan kalau-kalau perundingan dengan pihak Belanda akan gagal sedang persiapan untuk terus bertempur sudah rampung, di sudut lain untuk tidak menimbulkan kecurigaan pada rakyat sebab pernyataan Habib untuk menyerah kepada Belanda diucapkannya sedemikian rupa umumnya, sehingga tidak seorang pun mau mempercayainya. Banyak orang menganggap bahwa pernyataan itu semata-mata untuk menakut-nakuti rakyat.
Pada tanggal tersebut di atas Habib dinantikan oleh Kepala Staf Mayor Gey van Pittus bersama Asisten Residen Sol. Perjalanan ke Aneuk Galong dilakukan pada malam hari. Syarat-syarat penyerahan diri bukan tidak menguntungkan bagi Habib, ia berjanji akan menganggap dirinya seperti dan berlaku sebagai rakyat yang tunduk kepada kekuasaan Belanda dan tidak akan melakukan sesuatu yang merugikan pemerintah dan milik-milik Belanda di seberang lautan atau milik rakyat Belanda”. Sebaliknya, pemerintah Belanda menyatakan berkewajiban selama ia masih hidup untuk memberikan uang bulanan kepadanya sejumlah 1.000 ringgit (f 2.500) dan akan mengangkutnya bersama istri-istri serta pengikutnya dengan kapal ke negeri Arab.
Baik di dalam bivak maupun di kapal uap Zr. Ms. Curacao yang membawanya ke negeri Arab, Habib diterima dan diperlakukan dengan cara yang sebaik-baiknya. Tanggal 24 November 1878 Kapal Curacao meninggalkan pelabuhan Ulee Lheue. Pada waktu keberangkatan Habib telah diberikan penghormatan 11 kali tembakan meriam seperti ditentukan oleh gubernur “sebagai bukti nyata bahwa Habib – seperti tersiar di luaran – tidak dilarikan oleh pihak Belanda”. Tanggal 5 Desember 1878 Habib meninggalkan Kolombo, atas permintaannya, kapal Curacao berlabuh lebih lama di sana berhubung dengan tibanya hari raya Islam yang ingin dirayakan oleh Habib. Anehnya, masyarakat Islam di Kolombo, di antaranya bahkan seorang Keling yang menjadi Konsul Turki telah memberi penghormatan yang cukup khidmat kepada Habib. Semua orang yang menjumpainya mencium tangan dan lututnya. Tanggal 28 Januari 1879 tibalah Habib ke Mekah yang dijemput oleh Syarif bersama pejabat-pejabat tinggi lainnya.
Selama dalam perjalanan Habib telah memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang berpendidikan dan cerdas. Dalam pembicaraan dengannya ia memberikan berbagai keterangan mengenai kekuatan Aceh yang merupakan catatan penting bagi pihak Belanda.
Pada akhir uraian ini saya ingin mengutip beberapa baris tentang Habib yang ditulis dalam surat nakhoda Kapal Curacao kepada pemerintah Hindia Belanda di Betawi selama dalam perjalanan itu.
“Habib bersama para pengikutnya akan turun di Jeddah. Ia bermaksud akan berangkat ke Mekah dan berdiam di sana sampai tahun depan. Mengenai maksud selanjunya, sepanjang pengetahuan saya, ia belum menetapkannya. Ia seorang yang gila hormat, sombong, licik, tetapi suka bekerja, banyak membaca dan berhasil serta pandai memperhitungkan keadaan. Ia memiliki pengetahuan yang luas sekali dan saya dapat membayangkan bahwa seseorang yang berwatak demikian, tidak akan menginginkan sesuatu pekerjaan lain untuk memenuhi nafsu hormatnya itu. Beberapa kali ia mengemukakan kepada saya bahwa yang mulia gubernur jenderal tahun depan akan mengundangnya ke Betawi. Ia ingin sekali hendak membuktikan bahw kini hatinya seluruhnya telah terpaut kepada pemerintah Belanda dan menganggap dirinya seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda”
Menurut hemat saya anggapan itu boleh dipercaya saya menganggap amat mustahil bahwa ia akan membohonginya. Saya pun tidak percaya bahwa dengan mudah ia akan mengingkari kata-kata yang telah diucapkannya.

7 komentar:

Roel mengatakan...

Saya adalah keturunan dari Teuku Muda Sulaiman Baet, nama saya : Teuku Syahrul bin Teuku Zainal Abidin Bin Teuku Cek Baet Bin Teuku Muda Sulaiman Baet. Saya Banyak mendengar cerita dari Ayah tentang kakek Buyut saya "Teuku Muda Sulaiman Baet" yang tentu saja dalam perjalanan hidupnya tidak terlepas dengan Habib Abdurrahman yang sekaligus iparnya. Setelah membaca tulisan anda ada hal-hal yang belum pernah saya dengar diantaranya :
1. Habib Abdurrahman pada awalnya bermusuhan dengan Teuku Muda Sulaman Baet.

2. Pocut Syaribanun adalah janda Sultan Sulaiman Iskandar.

dan beberapa hal lain yang berbeda, tapi yang sangat penting adalah bahwa saya sangat berterima kasih pada anda yang telah peduli dengan Sejarah Aceh.

Roel mengatakan...

Ada satu 2 hal lagi yang juga berbeda setelah saya tanyakan langsung pada Ayah saya :

1. Pocut Syaribanun (Pocut dlm tulisan ini) adalah Adik Teuku Muda Sulaiman Baet bukan Kakaknya spt yg tertulis pada tulisan ini.
2. Pocut Syaribanun secara bersamaan dilamar Oleh Sultan Mahmudsyah dan Habib Abdurrahman, sehingga membuat bingung Teuku Muda Sulaiman Baet, yang mana sangat sulit mengambil keputusan yang mana harus dipilih Sultan sebagi atasan atau Sahabat.

Tetapi akhirnya Teuku Muda Sulaiman Baet memilih Habib Abdurrahman sebagi iparnya bukan Sultan Mahmudsyah.

Demikian info yang dapat saya berikan

Unknown mengatakan...

Saya adalah keturunan dari habib abdurrahman azzahir dari anak perempuannya yg bernama syarifah maryam,dari tulisan diatas,ada pengalihan sejarah,sebenarnya habib abdurrahman azzahir bukanlah seorang pengkhianat,dan beliau tidak menerima 1 senpun gaji dari belanda,jadi. Harap diluruskan dan jangan percaya dengan tulisan2 sejarah yg dibuat oleh belanda

Unknown mengatakan...

Dari cerita2 kakek saya,bahwa,bahwa perjuangan dan pemikiran dan sumbangsih utk Kemajuan dan perdamaian di aceh sangatlah besar.

Roelist mengatakan...

Benar saudaraku, saya juga pernah membaca pada buku karangan Snouck Hurgronje Teuku Muda Sulaiman Baet juga berkhianat, dia mempropaganda beliau sedang berdansa dengan org2 Belanda di Bandanaira Maluku, padahal beliau diasingkan disana dan dipenjara. Berkat pertolongan Allah beliau berhasil meloloskan diri dan kembali lagi ke Aceh Besar memimpin perlawanan bersama adiknya Teuku Tjut Mahmud (syahid di lamsuson Benteng Kuta Malaka Aceh Besar), Teuku Ibrahim Lamnga (suami Cut Nyak Dhien sebelum menikah dgn Teuku Umar, beliau juga Syahid)

Roelist mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut